Perubahan yang terjadi terhadap dua raksasa ekonomi dunia, Tiongkok dan Amerika, membuat Asia bergejolak. Mata uang berbagai negara Asia, termasuk Indonesia, melemah terhadap dolar Amerika selama lebih dari satu tahun.
Gejolak ekonomi ini berawal dari Amerika Serikat. Ekonomi Amerika yang sempat lunglai diterpa badai krisis finansial pada 2008, berangsur-angsur mulai pulih. The Federal Reserve atau bank sentral AS kemudian mulai menghembuskan rencana kenaikan suku bunga.
Sementara Tiongkok, ekonominya melambat. Bursa saham Tiongkok sempat anjlok sampai 50 persen setelah negara itu memutuskan mendevaluasi mata uangnya, yuan.
Namun, DBS Group Research berpendapat, gejolak kali ini tidak akan menyeret Asia ke dalam krisis. Dalam risetnya Triangulating Asian Angst: the US, China and the 97 question, DBS menyebutkan situasi saat ini tidak seburuk seperti dibayangkan banyak orang.
Ekonomi AS memang membaik jika dibandingkan saat berada di tengah pusaran krisis pada 2008. Tapi secara rata-rata dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan sebetulnya tidak pernah beranjak dari kisaran 2 persen (yoy). “Dalam situasi seperti ini hampir tidak mungkin Amerika menaikkan suku bunga tinggi secara cepat,” kata Chief Economist DBS David Carbon.
Sedangkan perlambatan ekonomi Tiongkok sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. DBS berpendapat perlambatan sengaja dilakukan untuk menyeimbangkan struktur ekonominya dengan meningkatkan peran konsumsi dalam negeri sebagai penggerak pertumbuhan.
Namun meski melambat, ekonomi Tiongkok tetap tumbuh di kisaran 6 sampai 7 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi ini, Tiongkok tetap bisa menciptakan ekonomi sebesar Jerman setiap 4,5 tahun.
Di sisi lain fondasi ekonomi Asia saat ini jauh lebih baik dari saat krisis 1997. Khususnya dalam pengelolaan neraca transaksi berjalan dan utang luar negeri. DBS berpendapat pelarian modal dari negara-negara Asia yang terjadi saat ini hanya bersifat jangka pendek dan lebih didasarkan keputusan emosional.
Menurut David Carbon, seberapa besar pelarian modal dari Asia memang akan dipengaruhi tiga hal: kekuatan Amerika, melemahnya Tiongkok dan apakah kondisi Asia mirip seperti saat krisis 1997. “Jangan takut, Amerika Serikat tidak sekuat seperti dipercaya banyak orang, ekonomi Tiongkok tidak lemah seperti dikhawatirkan, dan Asia kondisinya lebih baik dari saat krisis 1997,” kata David.