Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia kini mulai bergeser ke laut dalam. Setelah ditemukan pertama kali oleh pengusaha Belanda Jan Reerink pada 1871, lapangan migas di Indonesia yang sampai akhir 1990-an mayoritas terletak di lapangan daratan (onshore) kini mulai melorot produksinya. Lapangan-lapangan yang selama ini menjadi andalan nasional tersebut telah mengalami faktor alamiah akibat sumur yang menua.
Mengatasi kondisi penurunan produksi ini, selama 10 tahun terakhir telah terjadi beberapa pergeseran aktivitas hulu migas di Tanah Air. Salah satunya terkait fokus kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bergeser dari lapangan onshore ke daerah lepas pantai dan laut dalam (offshore). Fenomena tersebut ditunjukkan dari jumlah penawaran lelang wilayah kerja (WK) migas yang lebih didominasi oleh lapangan offshore selama tiga tahun terakhir.
Di masa depan, Indonesia akan sangat bergantung dengan kawasan perairan karena 70 persen potensi cadangan migas nasional ada di sana. Meski begitu, aktivitas eksplorasi di laut dalam bukan tanpa hambatan. Beberapa tantangan seperti biaya investasi, tingkat pengembalian investasi (IRR) yang rendah dan periode waktu eksplorasi yang pendek perlu dicari jalan keluarnya oleh pemerintah guna menggenjot angka produksi migas Indonesia yang terus turun dalam kurun waktu lima tahun terakhir.