Situasi politik di kawasan Timur Tengah kembali memburuk setelah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain, Yaman, Libya, dan Maladewa memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar pada Senin (5/6). Ketujuh negara menuding Qatar mendanai aktivitas kelompok ekstrimis yang mengganggu stabilitas kawasan. Seluruh pintu masuk ke negara tersebut akan ditutup. Alhasil, gejolak ekonomi mulai terasa. (Baca: Timur Tengah Pecah, Garuda Tampung Penumpang Umrah Qatar Airways)
Qatar dituding mendanai Ikhwanul Muslimin, Al-Qaida dan Al-Nusra, Islamic State (ISIS), dan kelompok pemberontak syiah di Provinsi Qatif, Arab Saudi. Pemerintah Bahrain terang-terangan menuding Qatar mencampuri urusan dalam negeri kerajaan tersebut. Selain itu, Qatar juga mendanai kelompok-kelompok yang punya kaitan dengan Iran untuk menyebarkan kekacauan di Bahrain. Qatar juga disebut-sebut memasok dana pada Hamas. (Baca: Darmin: Konflik Qatar - Arab Tak Berpengaruh ke Ekonomi Indonesia)
Pemutusan hubungan yang sudah terjalin selama 36 tahun ini langsung menyulut kenaikan harga minyak dunia dan merosotnya indeks harga saham negara-negara teluk. Pada (5/6) harga minyak acuan Brent untuk kontrak Agustus naik 57 sen menjadi US$ 50,5 per barel di bursa ICE London. Di bursa New York, Amerika Serikat (AS), harga minyak jenis WTI untuk kontrak Juli mendatang sempat mencapai US$ 48,42 per barel atau naik 1,6 persen. (Baca: Harga Minyak Hingga Investasi Akan Terkena Imbas Krisis Qatar)
Sementara itu, pada hari yang sama Indeks QE di Qatar melorot 7,27 persen. Indeks Tadawul All Share di Saudi Arabia turun 0,22 persen. Sedangkan Indeks DFM General di UAE merosot sebesar 0,72 persen dan indeks BB All Share di Bahrain turun 0,44 persen. Selain itu, suplai pangan bagi masyarakat Qatar mulai menipis. Sebab, 80 persen pasokan pangan Qatar bergantung pada pasokan dari tetangganya di Timur Tengah.