Saat bertemu dengan para pimpinan bank umum di Istana Negara 15 Maret lalu, Presiden Joko Widodo meminta perbankan mengeluarkan produk kredit pendidikan. Ini dinilainya sebagai solusi untuk meningkatkan akses pendidikan, terutama di perguruan tinggi.
Seperti dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi pendidikan tinggi masih rendah, yakni hanya 24,8 persen pada 2017. Salah satu penyebabnya lantaran biaya pendidikan yang terus meningkat. Pada 2017, rata-rata biaya kuliah di Tanah Air mencapai Rp 8,7 juta, naik sekitar 5 persen dibandingkan pada 2016.
Kredit pendidikan adalah pinjaman berbunga rendah yang diberikan kepada mahasiswa untuk biaya pendidikan dan akan dibayar berkala setelah mereke lulus atau bekerja. Saat ini di Indonesia, sebenarnya sudah ada instansi perbankan yang menawarkan dana pinjaman untuk biaya pendidikan, seperti Bank Negara Indonesia, Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia.
Selain itu, beberapa lembaga pendidikan dan perusahaan teknologi finansial (fintech) juga memberikan pinjaman seperti yayasan Putra Sampoerna Foundation, Yayasan Sosial Bina Sejahtera, Surya University, Danakita, Koinworks, dan Danadidik.
Di luar negeri, negara yang telah menyelenggarakan kredit pendidikan adalah Australia. Dengan sistem yang lebih baik dan bunga yang rendah, potensi gagal bayar mampu ditekan hingga di bawah 7 persen. Di Amerika Serikat, total kredit pendidikan per Januari 2018 mencapai Rp 20.673 triliun. Namun, tingginya tingkat potensi gagal bayar kredit pendidikan, dinilai menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di negara adidaya tersebut.