Wabah Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Tidak hanya persoalan kesehatan, pandemi ini menimbulkan berbagai fenomena sosial. Sejak pemerintah pertama kali mengumumkan kasus positif Covid-19 pada 2 Maret lalu, panic buying melanda masyarakat.
Hampir dua minggu kemudian, ketidaksingkronan antara kebijakan dan praktik di lapangan terlihat dari panjangnya antrian TransJakarta. Himbauan Presiden Joko Widodo untuk bekerja dari rumah (work from home) belum sepenuhnya dipatuhi perusahaan. Alhasil ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pembatasan armada, penumpang membludak.
Wabah ini berdampak terhadap perekonomian masyarakat miskin.46.018 pemudik tercatat pulang kampung lebih awal ke sejumlah daerah di Jawa Tengah. Menurut Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, hal ini dipicu oleh pekerja sektor informal yang kehilangan pendapatan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah juga melaporkan sebanyak 1,5 juta pekerja terkena imbas dari wabah Covid-19.
Berbagai persoalan yang terjadi saat pandemi ini memperlihatkan bahwa pemerintah perlu mengkaji kembali strategi mitigasi yang tepat. Salah satunya melalui penerapan inovasi inklusif sebagai landasan membuat kebijakan yang mampu merespon tantangan aktual di masyarakat. Cakupan inovasi inklusif meliputi inovasi kebijakan, organisasi, model bisnis, alur kerja, hingga proses riset.
(baca juga: Pandemi yang Memicu Inovasi Inklusif)
Dalam gagasan inovasi inklusif, inovasi tidak hanya berdasarkan pada ilmu sains (hard science) tapi juga menyangkut inovasi sosial-humaniora. Penelitian sosial-humaniora misalnya, dapat mengukur sejauh mana penggunaan teknologi dapat mengatasi permasalahan pandemi dan bisa diterima oleh masyarakat. Pendekatan sosial-humaniora berdasarkan data yang relevan juga dapat menjadi bagian dalam perhitungan risiko jangka panjang bagi perekonomian. Aspek riset sosial-budaya serta ekonomi lokal bisa mempengaruhi efektivitas kebijakan negara dalam penanganan pandemi Covid-19.