Peluang Hilang, kalau Hanya Berpikir Politik

Katadata | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
3/5/2018, 12.44 WIB

Akhir April ini, 3,5 tahun sudah Presiden Joko Widodo menjalankan pemerintahan. Pencapaian yang diraih, khususnya di bidang ekonomi, antara lain masifnya pembangunan proyek infrastruktur, kian membaiknya peringkat kemudahan berusaha, dan peringkat tertinggi kredit dari tiga lembaga rating utama dunia.

Namun, masih ada sejumlah pekerjaan rumah pada sisa masa 1,5 tahun ke depan pemerintahan ini. Di antaranya, harga pangan yang masih bergejolak, besarnya beban utang, serta target penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan.

Karena itu, Jokowi masih enggan membahas rencana dan peluangnya maju kembali dalam pemilihan Presiden 2019, meski masa pendaftaran calon tinggal 3-4 bulan lagi.

“Sekarang saya masih fokus, konsentrasi di pekerjaan,” kata mantan pengusaha furnitur ini saat wawancara khusus dengan Tim Katadata di ruang kerjanya di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/4) petang.

Selama lebih 30 menit Jokowi menjawab berbagai pertanyaan seputar masalah ekonomi dan politik terkini, dengan dilengkapi beragam data. “Kalau bicara pakai data,” kata Jokowi.

Dengan masa efektif pemerintah tersisa 1,5 tahun lagi, apa saja target yang masih ingin dicapai?

Tetap konsentrasi diimplementasi, di pelaksanaan proyek infrastruktur yang sudah direncanakan. Fokus tetap di situ. Tapi, juga tidak akan berhenti mereformasi birokrasi kita dan menyederhanakan regulasi-regulasi yang ada.

Seperti target yang saya sampaikan kepada Menko Perekonomian, saya minta pada 2019 Ease of Doing Business (peringkat kemudahan berusaha dari Bank Dunia) Indonesia harus dipastikan bisa di bawah 50. Target saya 40. 

Karena, sekarang ini tanpa sebuah kecepatan, kita ditinggal. Artinya apa? Regulasi itu harus sesimpel mungkin, sehingga dalam mengambil kebijakan menjadi lebih cepat. Perubahan dunia cepat banget.

Ease of Doing Business yang dulunya pada 2014 saya ingat masih di peringkat 120, tahun lalu sudah berada di angka 72. Kita harus terus kejar agar betul-betul bisa mencapai 40 besar.

Peringkat kredit dan kemudahan usaha sudah naik signifikan. Tapi, investor masih bertanya, apakah harus investasi sekarang atau menunggu setelah 2019...

Saya kira, dari hasil lembaga rating, yang paling penting adanya trust, ada kepercayaan internasional dan dunia terhadap kita. Pengelolaan fiskalnya baik, pengelolaan APBN baik, pengelolaan moneter juga baik dan penuh kehati-hatian.

Pengelolaan inflasi juga baik, terus kita dorong agar di bawah 4 persen. Jadi, dengan basic dan fondasi seperti itu memudahkan kita dalam memutuskan kebijakan-kebijakan. 

Kalau (kondisi) moneter dan fiskalnya itu pada posisi sudah mantap, enak kita memutuskan apa-apa. Tidak ada ketakutan-ketakutan. Karena itu, sekarang kita kejar terus, misalnya neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, yang harus terus diperbaiki.

Apakah ada kondisi yang masih perlu dibenahi saat ini dari sisi moneter maupun fiskal?

Menurut saya kebijakan-kebijakan yang sudah baik untuk inflasi, moneter dan fiskal harus diteruskan, agar kepercayaan itu semakin baik. Dengan angka-angka yang jelas ini, kita bisa bertanya ke dunia investasi atau investor.

Dulu ketika saya tanya pada 2015, (investor menyatakan) wait and see. Lalu ada Pilkada, wait and see lagi. Nah, ini 2018 karena tahun depan ada Pilpres, masak masih mau wait and see lagi. Kalau angka-angkanya itu sudah jelas, yang kita harapkan ada trust, ya ada realisasi.

Jangan sampai peluang yang ada ini hilang. Kita akan kehilangan opportunity kalau hanya berpikir politik. Orang ekonomi berpikirnya harusnya ekonomilah. Mengerti politik iya, tapi jangan terlalu masuk ke politik, karena nanti jawabannya menjadi ‘wait and see, wait and see’, begitu terus.

Bagaimana memanfaatkan peluang tersebut?

Menurut saya ada kesempatan. Infrastruktur terus dibangun. Memang masih banyak yang belum selesai. Ini saya ada angkanya. Misalnya, proyek yang sudah di tahap konstruksi dan baru operasional sudah 38 proyek, nilainya Rp 1.479 triliun dan selesai tahun 2018.

Kemudian yang baru konstruksi dan belum selesai ada 119 proyek strategis, nilainya Rp 899 triliun. Ini kami perkirakan Insya Allah selesai pada 2019. Yang lainnya berarti setelah itu, karena ini memang proyek strategis yang besar-besar.

Sebagian kalangan melihat kebijakan pemerintah menjelang 2019 lebih kompromistis, seperti menahan kenaikan harga BBM. Tanggapan Anda?

Itu bukan kompromi. Kita harus melihat juga daya beli (masyarakat). Kita lihat juga sisi konsumsi. Kita ingin mempertahankan dan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Tapi kita juga ingin menjaga inflasi.

Kita kan punya hitung-hitungan. Rugi mana sih, misalnya (dalam kalkulasi) urusan APBN. Apa kita ingin kehilangan besar atau kehilangan kecil? Hitung-hitungannya harus ada dong.

Kalau kita lihat, sebetulnya patokan (harga minyak mentah) di APBN itu kan US$ 48 per barel. Sedangkan ICP (Indonesia Crude Price) kita sekarang US$ 65-66 per barel. Berarti ada gap (kelebihan penerimaan hasil ekspor) di situ.

Saya sampaikan kepada menteri, ya patokannya pakai yang APBN dong. Berarti kan US$ 48. Artinya sebetulnya ada kelebihan pendapatan (dan ini yang digunakan untuk menahan kenaikan harga BBM).

Hitung-hitungan APBN-nya kan tetap, tidak berubah. Jadi mengapa cara berpikirnya: "Loh kok ini mau meningkatkan subsidi?" Siapa yang subsidi? Tidak ada subsidi. Jangan di-twist seperti itu. Kalau seperti itu ya akan berbeda.

Beberapa waktu lalu dikabarkan bahwa daya beli masyarakat bawah terpukul, kemudian diadakanlah program cash for work di desa. Bagaimana implementasinya?

Ya kan sudah jalan, terutama memang dari sisi pemerintah pusat. Di pusat yang sekarang sudah jelas berjalan adalah PU (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).

PU irigasi, kemudian jalan-jalan yang berkaitan dengan jalan produksi ke sawah, itu dikerjakan dengan padat karya tunai. Kita Indonesiakan cash for work itu dengan padat karya tunai, biar enak.

PU sudah mengerjakannya mulai Januari. Kemudian Kementerian Perhubungan bulan lalu juga sudah mulai. Beberapa BUMN juga sudah.

Ini bagian dari upaya untuk mempercepat penyaluran dana desa juga?

Dana desa juga kita arahkan kepada padat karya tunai. Untuk apa sih? Yang pertama, membuka lapangan pekerjaan. Yang kedua, semakin banyak peredaran uang di desa dan di daerah, yang pada akhirnya membuat daya beli meningkat, konsumsi meningkat.

Kita ingin sekali mempertahankan agar daya beli dan (pertumbuhan) konsumsi ini jangan sampai turun di bawah 5 persen. Kita ingin di atas itu. Kalau dibandingkan dengan negara lain, alhamdulillah kita pun di G20 sekarang ini kalau tidak nomor tiga, nomor empat (pertumbuhan ekonominya). Itu kan baik.

Tapi, pertumbuhan ekonomi tak beranjak dari kisaran 5%?

Dalam situasi ketidakpastian seperti ini lebih baik naiknya bertahap. Jangan lompat. Karena, pertumbuhan yang melompat itu inflasinya juga bisa mengikuti. Kita bisa mengendalikan tidak (inflasinya)? Moneternya pasti akan goyah. Kita tentu ingin naik lebih tinggi lagi, tapi situasi internasional yang tidak memungkinkan. 

Ekonomi kreatif dan sektor pariwisata kini diunggulkan. Seberapa penting perannya ke depan?

Kita memang harus punya pilihan-pilihan yang sama dalam memandangnya. Seperti korporasi, negara pun kalau mau efisien harus punya core business yang jelas.

Menurut saya, DNA kita ada di situ. Di industri kreatif. Handmade, custom-made, itu kekuatan kita. Entah yang namanya busana muslim, handicraft, otomotif. Ini yang menurut saya merupakan DNA kita.

Kami sudah merancang agar industri kreatif terkoneksi dengan pariwisata. Ini nanti core business kita ke depan. Menurut saya, kita ada di sini, industri kreatif yang dikoneksikan dengan pariwisata.

Apa saja program untuk itu?

Kita membangun yang namanya “10 Bali Baru”. Ini masih dalam tahap pembenahan infrastruktur, airport, jalan, listrik, kemudian investasi. Saya kira yang sudah mulai masuk sekarang ini jelas ke Mandalika. Itu jelas masuk, mengantre.

Kita akan buat lagi yang kedua, Danau Toba. Mau kita buat, juga antre, tapi fasilitasnya harus kita (bangun) dulu. Prasarana penunjang siap, otoritas yang ada di situ pun harus siap melayani, sehingga kita akan memiliki Bali Baru-Bali Baru di tempat-tempat yang lain.

Kalau ini dikoneksikan dengan kekuatan industri kreatif rakyat maka akan memunculkan aktivitas-aktivitas ekonomi di kampung, di desa. Iini kekuatan kita, tenun, handicraft, kemudian kafe-kafe.

Itu sebabnya Anda kerap berkunjung ke kafe?

Saya ingin kita memiliki kafe. Kenapa saya datang, misalnya ke Tuku Kafe (Toko Kopi TUKU), Sejiwa Coffee. Kita ingin brand lokal itu bisa bersaing dengan brand internasional dengan segala keterbatasan yang dimiliki.

Masak di negaranya sendiri tidak bisa bersaing. Mereka (brand internasional) jual kopi Rp 80 ribu, masak di TUKU jual Rp 18 ribu tidak bisa bersaing, padahal rasanya sama. Saya melihat sama saja...he-he-he.

Kayak di Sejiwa, harganya Rp 26 ribu. Ini hanya soal keberanian pengusahanya. Berani tidak misalnya ekspansi ke negara-negara ASEAN dulu. Memang harus seperti itu. Saya kira dengan harga yang kompetitif seperti itu, kok saya meyakini kita bisa.

Data terakhir menyebutkan, sumbangan industri kreatif terhadap perekonomian nasional sudah Rp 1.000 triliun...

Ya, itu kekuatan. Kita memiliki daya saing, memiliki daya kompetitif di harga. Menurut saya, (industri kreatif) punya prospek yang jelas, apalagi dengan e-commerce, dengan mulai masuk ke digitalisasi. Saya kira lebih memudahkan mereka untuk memasarkan produk-produknya.

Hanya kita ini, saya perintahkan Bekraf untuk membenahi yang terkait dengan kemasan, packaging. Membangun brand setiap produk agar barangnya terlihat bagus, tapi kalau kemasannya tidak menarik atau namanya tidak unik maka akan menjadi jelek juga. Kita perlu mengarahkan produk-produk ke sana.

Soal kontroversi Freeport, kabarnya Anda sendiri yang sangat mendorong negara punya 51% saham?

Itu kan keinginan rakyat, agar kita memiliki mayoritas (saham). Saya kan berusaha untuk memenuhi itu. Kita juga harus tahu, seperti (Blok) Mahakam, sudah 100 persen kita ambil. Sudah diserahkan ke Pertamina. Terserah Pertamina mau B2B (business to business bermitra) dengan siapa pun.

Freeport juga sama. Yang penting, ini kan pendekatannya business to business. Tidak ada pendekatan nasionalisasi. Tidak ada. Tapi kita ingin kepemilikan mayoritas. Itu saja keinginan kita, masak sih tidak bisa? Pendekatan saya pendekatan bisnis, tidak ada pendekatan memaksa.

Tapi mengapa ini berlarut-larut?

Ya, sudah 3,5 tahun kan (negosiasinya)? Dulu (katanya) negonya dua minggu saja rampung, ini sudah 3,5 tahun belum rampung. Karena saling ngotot. Kita juga ngotot. Tapi ini proses bisnis. Jangan juga dua minggu negosiasinya rampung, tapi kita kalah, untuk apa?

Beralih ke soal politik. Dalam wawancara kami, Wapres Jusuf Kalla menyatakan peluang Anda melanjutkan pemerintahan besar sekali. Tanggapan Anda?

Ya terserah masyarakat lah, (saya) mengikuti kehendak rakyat saja. Hehehe... Sekarang saya masih fokus dan konsentrasi di pekerjaan.

Tapi 3-4 bulan mendatang sudah harus menyampaikan calon pendamping yang ideal...

Ya, calon pendamping dicari...

Apa kriterianya?

Kita ini sekarang masih santai banget. Kayak nama, aduh masih jauh banget. Tiga bulan masih jauh.

Padahal nama calonnya sudah ada di kantong?

Ya, kantongan punya lah, bukan di kantong. He-he-he...

Anda sudah menjalankan birokrasi dari level kota, provinsi dan nasional. Apa persoalan terberat?

Ya, manajemen sama saja. Manajemen di perusahaan, manajemen di korporasi, manajemen di kota, manajemen di provinsi, manajemen negara. Ini sama saja. Hanya, skalanya yang berbeda.

Ada skala kecil kota, skala sedang provinsi, ada skala besar negara. Sama saja, manajemennya sama saja. Kalau di sini dibantu Kepala Dinas, di sini dibantu Kepala Daerah, di sini dibantu Menteri.

Kompleksitasnya?

Kompleksitasnya jelas berbeda mengelola negara sebesar Indonesia dengan 263 juta penduduk dan 17 ribu pulau. Betul-betul manajemen merangkul harus kita lakukan ke seluruh wilayah yang kita miliki, ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota yang kita miliki.

Setiap wilayah, setiap daerah, setiap provinsi memiliki karakter yang berbeda-beda. Memiliki persoalan spesifik yang juga berbeda, karena masalah geografis, masalah kepulauan, masalah yang berkaitan dengan budaya dan tradisi masyarakat yang juga berbeda-beda.

Tidak semudah yang dibayangkan orang. Kompleksitasnya berbeda. Manajemen korporasi itu lebih manajemen sisi ekonomi saja. Ini kan manajemen sosial politik, ekonomi, budaya, semuanya.

Anda getol berkunjung ke daerah. Seberapa banyak yang sudah dikunjungi selama menjabat Presiden?

Kalau provinsi sudah semuanya. Kalau kota/kabupaten sudah lebih dari 300. Jadi masih banyak juga (yang belum dikunjungi). Kan kita memiliki 514 kota/kabupaten.

Karena itu Anda masih butuh periode kedua?

He-he-he...