Antara Juara Olahraga dengan Jago di Bisnis

ANTARA FOTO/INASGOC/Zabur Karuru
Executive Chairman Alibaba Group Jack Ma (kanan) bertepuk tangan usai memberi boneka maskot Asian Games 2018 pada tim sepak bola wanita Cina saat acara pemberian medali sepak bola wanita Asian Games 2018 di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (31/8).
Penulis: Ade Febransyah
Editor: Yura Syahrul
5/9/2018, 19.50 WIB

Berakhir sudah perhelatan akbar olahraga Asia. Kembali para naga menjadi penguasanya: Tiongkok, Jepang, dan Korea. Memang, tidak ada bangsa hebat tanpa juara di pentas olahraga.

Berita gembiranya, selain sukses sebagai tuan rumah, Indonesia sudah berada di jalan juara. Prestasi atlet-atlet kita melesat luar biasa. Berakhir di posisi 4, menempel para raksasa Asia. Akankah prestasi di olahraga diikuti di bidang lainnya? Akankah Indonesia juga mengikuti para raksasa olahraga Asia yang juga perkasa di dunia usaha?

Jalannya juara

Setiap bangsa dan negara memiliki keunggulannya masing-masing (Porter, 1990). Kalau bicara prestasi di dunia olahraga, tidak dipungkiri bulutangkis sudah menjadi DNA kita.

Ketika kekuatan bulutangkis sudah menyebar ke banyak negara, cabang olahraga ini tidak pernah berhenti menyumbangkan medali. Cabang lainnya seperti pencak silat, sport climbing, angkat besi, karate, taekwondo akan memperkaya portofolio keunggulan kompetitif olahraga kita.

Sukses di olahraga, apakah juga sukses di bisnis? Ketiga raksasa Asia yang menguasai olahraga nyatanya adalah rumah pembuat bagi para kelas dunia.

Sebut saja Jepang dengan kendaraan bermotornya; Korea dengan produk elektroniknya; dan Tiongkok hampir bisa membuat apa saja yang membanjiri pasar dunia. Apakah Indonesia juga akan menjadi rumah hebat bagi para pembuat produk maupun layanan yang diterima pasar domestik hingga dunia?

Kesuksesan dalam bisnis mensyaratkan pelakunya mampu menawarkan produk atau layanan yang tepat sesuai dengan permintaan pasar. Untuk merealisasikannya, pelaku bisnis harus memiliki segala sumber daya yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk tersebut.

Pada akhirnya, bisnis harus mendatangkan keuntungan. Prinsipnya sederhana, segala penerimaan harus lebih besar dari pengeluaran. Itulah aturan besinya dalam berbisnis. Apapun bisnisnya, setidaknya ada tiga aspek yang harus dipenuhi. Ada pasarnya (desirability), ada kemampuannya (feasibility), dan ada profitnya (viability) (Brown, 2009).

Dalam urusan membuat produk, berbagai program lompatan katak untuk menjadi pembuat hebat pernah dicoba di Tanah Air. Sebut saja program membuat pesawat terbang dan juga mobil nasional. Sempat dielu-elukan awalnya, namun program-program tersebut belum memberikan hasil yang menggembirakan. Dimanakah letak kelembamannya?

Dengan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan bepergian menggunakan alat transportasi menjadi tinggi. Aspek desirability harusnya dengan mudah dipenuhi. Tinggal mencarikan konsep solusi atau produk yang tepat sesuai dengan permintaan masyarakat yang dilayani.

Yang menjadi tidak mudah adalah ketika masuk pada tahap pengujian feasibility. Di sinilah ketersediaan sumber daya perusahaan dan jejaring rantai pasok yang berkualitas akan menjadi kendala. Infrastruktur perusahaan mencakup sumber daya manusia, teknologi, kekayaan intelektual, dan pendanaan.

Di industri otomotif misalnya, di tengah kepungan para pabrikan dunia, rintangan untuk masuk ke industri menjadi begitu berat. Belum lagi dengan jejaring rantai pasok yang juga sudah dikuasai oleh pabrikan besar, risiko rantai pasok menjadi begitu tinggi bagi pelaku lokal yang akan memasuki industri ini.

Tidak lolos di aspek feasibility, dengan sendirinya akan sulit untuk lulus di aspek viability. Jika tidak didukung oleh infrastruktur perusahaan dan jejaring pasokan, maka akan sulit merealisasikan produk yang diminati pasar.

Tidak mengherankan jika opsi menjadikan Indonesia sebagai basis produksi global dari pabrikan kelas dunia lebih realistis ketimbang opsi mengusung mobil hasil desain dan produksi dengan merek sendiri.

Meski demikian, bukan berarti jalan menjadi pembuat hebat menjadi tertutup rapat. Nasihat generiknya jika memang mau membuat produk sendiri, carilah produk yang mampu menyelesaikan masalah di masyarakat secara lebih baik atau  lebih murah dibandingkan produk yang sudah ada.

Adakah produk yang seperti itu? Realistiskah mengadu produk yang lebih baik dengan para penguasa dunia ketika kemampuannya sudah kelas dunia; atau adu lebih murah ketika mereka sudah begitu efisien?  

Belum lagi jika ditambah adu lainnya yang lebih emosional seperti adu keren. Di tengah sebagian masyarakat yang mendewakan produk bermerek asing, bakal sulit bagi produk lokal sebagus apapun untuk diterima pasar. Adu bagus tidak dipercaya; apalagi adu murah.

Inilah yang semakin menebalkan mentalitas ‘underdog’ di kalangan pembuat di Asia termasuk Indonesia (de Meyer dan Garg, 2005). Mereka canggung berinovasi dan membuat karena kekurangpercayaan sebagian masyarakat pada kemampuan produk lokal.

Jika membuat produk hebat sepertinya belum bersahabat bagi pembuat di Tanah Air, apa pilihan lainnya?

(ANTARA FOTO/INASGOC/Dwi Andri Purwanto)

Pilihan membuat

Membuat tidaklah harus menghasilkan barang. Nyatanya, silakan lihat barang apakah yang mengakrabi keseharian kita, apakah berasal dari buatan pembuat lokal? Smartphone, tas, sepatu, bingkai kacamata, mobil, motor, laptop dan seterusnya.  Semuanya adalah produk dengan merek luar. Ingin adu hebat, adu gengsi, adu cepat, adu murah dengan penguasa pasar bisa menjadi pilihan tidak realistis.

Kesuksesan menjadi penyelenggara peristiwa olahraga terbesar se-Asia sudah menunjukkan pilihan membuat yang tepat bagi pelaku bisnis di sini. Bukan membuat barang, tapi membuat acara yang menyenangkan dan tidak terlupakan.

Menyelenggarakan suatu acara atau peristiwa tidak ubahnya seperti menjalankan bisnis pada umumnya. Ada model bisnis baku yang tetap harus dipegang. Ada ketepatan antara apa (what) yang ditawarkan dengan apa yang diinginkan masyarakat maupun para atlet (who).

Bagi masyarakat, ada pekerjaan mereka yang ingin diselesaikan (jobs to be done). Pekerjaan itu mulai dari menyemangati atlet kita yang sedang bertanding langsung di arena hingga berinteraksi sosial dengan sesama sambil menikmati nonton bareng.

Bagi yang datang ke acara pembukaan dan penutupan Asian Games 2018, pekerjaan mereka bisa menjadi sangat emosional yang akan dikenang sepanjang hidup. Pekerjaan itu adalah membagikan kegembiraan diri di media sosial selagi menyaksikan peristiwa yang begitu bersejarah.

Apapun pekerjaan masyarakat yang ingin diselesaikan, penyelenggara sudah berupaya agar masyarakat mendapatkan pengalaman yang menyenangkan tanpa gangguan berarti. Melihat animo masyarakat yang begitu tinggi menjelaskan adanya desirability yang tinggi dari masyarakat terhadap Asian Games ini. Inilah oportunitas nyata, perhelatan besar berskala internasional begitu diminati masyarakat.

Selanjutnya untuk urusan bagaimana (how) dari model bisnis, penyelenggara sudah memperlihatkan adanya orkestrasi yang matang melibatkan segala sumber daya, mitra utama, dan serangkaian proses sehingga pelaksanaan acara berjalan lancar.

Khususnya di acara pembukaan dan penutupan, penyelenggara memperlihatkan  kreativitas tinggi dalam berinovasi menyuguhkan  pertunjukan spektakuler bercita rasa Indonesia. Dan semua dieksekusi hampir tanpa cela. Aspek feasibility dari bisnis sudah dijawab. Inilah oportunitas membuat yang pantas dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis di sini. Ketika aspek desirability dan feasibility sudah mampu dilewati, keberuntungan finansial (viability) tinggal mengikuti.

Bagi pelaku bisnis di Tanah Air, suguhkan pertunjukan kelas dunia tanpa meninggalkan jati diri Indonesia. Kita punya sumber kekuatan yang tidak mudah ditiru siapapun. Apa itu? Our diversity is unmatched!

Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.