Menimbang Arahan Jokowi dalam Konsepsi Kelembagaan Hulu Migas

Ilustrator: Betaria Sarulina
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Editor: Yuliawati
31/3/2019, 14.50 WIB

Pada akhir 2018, Dewan Perwakilan Rakyat melalui sidang paripurna mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) menjadi RUU Migas sebagai inisiatif Dewan. RUU Migas tersebut disampaikan kepada pemerintah, yang juga telah meresponsnya.

Presiden Joko Widodo, dalam rapat kabinet 23 Januari, menyampaikan beberapa butir penting, di antaranya, agar UU Migas hasil revisi ini nantinya: Pertama, tidak bertentangan dengan Konstitusi.

Kedua, mampu mendorong produksi migas nasional dan mendukung penguatan kapasitas nasional. Ketiga, mampu memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional. Keempat, mampu menjadi momentum untuk mereformasi tata kelola migas lebih efisien, transparan, sederhana, dan berkelanjutan.

(Baca: Mempertanyakan Nasib SKK Migas dalam RUU Migas)

Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah telah menyelesaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Migas untuk dibahas bersama DPR. Salah satu elemen (ter)penting di dalam DIM tersebut dan yang memiliki keterkaitan erat dengan empat butir arahan Presiden Joko Widodo di atas adalah kelembagaan hulu migas.

Pada tingkat tertentu, kelembagaan hulu migas bahkan dapat dikatakan merupakan ruh atau nyawa dari UU Migas itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut, berikut beberapa pemikiran terkait penataan kelembagaan hulu migas, yang mungkin dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah dan DPR di dalam menyelesaikan proses revisi UU Migas.

Dalam keterkaitan dengan keempat butir yang menjadi arahan Presiden, berdasarkan pertimbangan aspek konstitusional, perekonomian, penguatan ketahanan energi dan kapasitas nasional, dan faktor lingkungan usaha migas, saya mencoba merumuskan kriteria kelembagaan hulu migas nasional yang baru sebagai berikut:

(1) Memenuhi aspek konstitutional sebagaimana diamanatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu menggunakan pola pengusahaan B to B. (2) Lebih dapat menjadikan migas sebagai penggerak perekonomian nasional dalam arti yang seluas-luasnya. (3) Memperkuat ketahanan, kemandirian energi dan kapasitas nasional. (4) Adaptif dan mampu merespons dinamika kondisi lingkungan usaha migas di tingkat nasional maupun global.

(Baca juga: Disetujui Paripurna, DPR dan Pemerintah Segera Bahas RUU Migas)

Pemenuhan aspek konstitusional di dalam kelembagaan hulu migas diperlukan dalam rangka menciptakan kepastian hukum. Dari perspektif konstitusi, hal itu untuk mewujudkan makna penguasaan negara atas sumber daya migas secara utuh. Yaitu, merealisasikan pengelolaan migas dalam derajat penguasaan negara pada peringkat pertama atau yang tertinggi.

Dalam hal ini, kelima fungsi negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad), dilaksanakan secara sekaligus oleh negara melalui institusi-institusinya.

Dalam konteks untuk lebih dapat menjadikan migas sebagai penggerak perekonomian nasional dalam arti yang seluas-luasnya, kelembagaan hulu migas yang baru harus mampu menjadi instrumen yang efektif untuk dapat menarik investasi hulu migas secara optimal sehingga mendatangkan multiflier effect ekonomi secara maksimal.

Kelembagaan hulu migas yang baru juga harus mampu menjadi katalisator dan fasilitator yang memungkinkan pelaksanaan investasi kegiatan usaha hulu migas berjalan dengan efektif dan efisien.

Dalam konteks untuk memperkuat ketahanan dan kemandirian energi serta kapasitas nasional, dalam hal ini mencakup posisi dan peran perusahaan migas nasional, kelembagaan hulu migas yang baru hendaknya menempatkan perusahaan migas nasional dalam posisi yang semestinya.

Pihak yang diberi kewenangan oleh negara melalui pemerintah c.q. Kementerian ESDM ini mengelola sumber daya migas secara mandiri ataupun melalui kerja sama dengan pihak lain.

(Baca: SKK Migas: Investor Masih Ragu Berinvestasi di Indonesia)

Perusahaan migas nasional ditempatkan sebagai pengelola kekayaan migas negara dan sekaligus merupakan wakil dari negara di dalam melakukan kerja sama usaha hulu migas dengan pihak lain.

Sejalan dengan hal itu, perusahaan migas nasional juga dapat difungsikan sebagai kepanjangan tangan negara untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan negara, termasuk untuk memperkuat keamanan pasokan dan ketahanan energi nasional.

Di dalam merespons dinamika kondisi lingkungan usaha migas, khususnya yang berkembang di tingkat nasional, kelembagaan hulu migas nasional yang baru harus memungkinkan terciptanya pengelolaan hulu migas yang memiliki keluwesan dan kelincahan di dalam bergerak tetapi tetap dalam koridor good governance.

Hal ini terutama untuk menjawab tantangan persoalan perizinan dan birokrasi pengambilan keputusan yang saat ini lebih kompleks seiring dengan berjalannya demokratisasi dan desentralisasi di dalam arena politik ekonomi nasional.

Di sisi lain, kelembagaan hulu migas yang baru juga harus memungkinkan terciptanya iklim investasi dan pengusahaan hulu migas nasional yang tidak saja kondusif dan adaptif tetapi juga kompetitif dalam menghadapi persaingan di tingkat global.

Dalam hal bagaimana menarik investasi, yang di tingkat global persaingannya semakin ketat, kelembagaan hulu migas nasional yang baru harus mampu menciptakan kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) bagi para pelaku di hulu migas dengan lebih baik.

Berdasarkan kriteria dan penjabarannya di atas, kelembagaan hulu migas yang baru dapat dikonsepsikan sebagai berikut:

 



Dalam konsepsi kelembagaan hulu migas di atas, negara melalui pemerintah c.q. Kementerian ESDM sebagai pemegang kekayaan sumber daya migas (mineral rights), melalui Undang-Undang Migas yang baru nanti memberikan kuasa pertambangan (mining rights) atas wilayah migas yang ada di seluruh NKRI kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN-K) atau Badan Usaha Khusus (BUK).

BUMN-K atau BUK ini merupakan bentuk badan usaha yang dimiliki negara sesuai dengan ketentuan UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas yang secara khusus dibentuk dan didirikan berdasarkan UU Migas yang baru (lex specialis) untuk menjalankan fungsi pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. Kepemilikan saham BUMN-K atau BUK sepenuhnya di tangan pemerintah dan tidak dapat diperjualbelikan.

BUMN-K atau BUK tidak melaksanakan secara langsung kegiatan operasional hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) tetapi menjalankan fungsi pengelolaan/manajemen dari mining rights. Hal itu dilakukan melalui kontrak kerja sama pengelolaan wilayah kerja dengan Pertamina, kontrak kerja sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap lain (swasta nasional maupun asing), dan atau dengan melalui mekanisme kepemilikan saham pada pengelolaan wilayah kerja tertentu.

Selain Pertamina, pemerintah juga dapat membentuk BUMN operasional lain untuk melakukan kegiatan hulu migas secara langsung yang merupakan BUMN murni sesuai UU BUMN dan UU Perseroan. Adapun sahamnya dapat diperjualbelikan dan dapat merupakan perusahaan terbuka (Tbk) dan terdaftar di bursa saham.

Konsepsi model kelembagaan ini akan menjadikan pengusahaan hulu migas kembali dilakukan secara Business to Business (B to B). Hal ini akan memungkinan berbagai bentuk kontrak dan atau fiscal regime pengusahaan migas dapat diterapkan secara lebih fleksibel (PSC cost recovery, PSC gross split, service contract, tax & royalty dll), dengan tetap sesuai dengan amanat Konstitusi.

Diharapkan, persoalan ketidakpastian hukum terkait aspek konstitutionalitas yang selama ini ada dapat teratasi. Kepastian hukum ini diharapkan akan menjadikan iklim investasi hulu migas nasional secara keseluruhan lebih kondusif dan kompetitif di dalam menarik investasi.

Sehingga, sektor hulu migas (kembali) dapat lebih menggerakkan perekonomian nasional dan memberikan multiplier effect dalam arti yang lebih luas, untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.