Dalam satu dekade terakhir, jurnalisme data (JD) menjadi istilah popular di kancah jurnalistik dunia. Di berbagai konferensi jurnalistik, ruangan yang menggelar sesi JD selalu dipenuhi peserta. Di Eropa, sejak 2017, konferensi JD bahkan digelar secara khusus, bukan hanya pelengkap acara kumpul wartawan. Para pembicara berbagi kiat, mulai dari mencari, mengolah data, hingga visualisasi. Karya yang dihasilkan, antara lain oleh, the New York Times dan Guardian menjadi contoh yang memanjakan mata peserta konferensi.
Di dunia akademik, “genre baru” jurnalistik tersebut mendapat karpet merah. Columbia Journalism School menawarkan program tiga semester Master in Data Journalism. Program master juga ditawarkan di Cardiff University dan Birmingham University di Inggris, serta sejumlah negara Eropa lainnya. Di belahan selatan, Melbourne University di Australia menawarkan program serupa sejak 2013. Dan tentu saja, sejumlah media dengan sigap membentuk divisi atau tim khusus jurnalis data untuk menghasilkan produk genre tersebut.
Di Indonesia, JD menemukan momentumnya dalam lima tahun terakhir—yang saya sebut sebagai era hoaks dan disinformasi. Penyebaran berita bohong di Indonesia memang tidak lepas dari peran media sosial sebagai platform alternatif untuk menyebarkan informasi. Alih-alih menjadi penyaring, sebagian media arus utama malah ikut menyebarkan apa yang ramai di media soal tanpa verifikasi yang memadai. Maka, JD diharapkan mengembalikan jurnalis pada disiplin verifikasi, dan mempertahankan kepercayaan publik pada pers.
Kerja Pers Berbasis Kekuatan Big Data dan Teknologi
Lalu, apa yang disebut JD? Kalau jurnalis hanya menggunakan data, tentu tidak ada yang baru. Namun, tiap jurnalis memiliki penjelasan berbeda ihwal JD. Ada yang menyebut bahwa JD adalah pemanfaatan big data sebagai material pembuatan berita. Sebagian mengatakan JD adalah penggunaan piranti lunak tertentu untuk memproses dan memvisualisasikan data. Dari berbagai definisi tersebut, boleh disimpulkan bahwa JD adalah kerja pers yang mengandalkan kekuatan (termasuk big) data dan didukung teknologi terkini.
Seperti disebutkan di atas, rujukan karya JD datang dari media-media Barat seperti The New York Times dan Guardian. Dalam berbagai konferensi internasional, data jurnalis dari media-media tersebut juga didapuk menjadi pembicara dan instruktur. Studi tentang JD juga lebih banyak mengambil kasus di negara-negara belahan utara bumi ini. Selain dukungan sumber daya yang lebih kuat di media tersebut, JD tumbuh seiring realisasi komitmen keterbukaan di lembaga-lembaga pemerintahan.
Kerja JD memang banyak bergantung pada keterbukaan informasi pemerintahan. Di negara dengan indeks demokrasi yang lebih tinggi, data publik tersedia di website setiap instansi secara detail dan mudah diunduh. Seorang jurnalis di London, misalnya, bisa memperoleh data lokasi kejadian atau jenis kriminalitas dengan mengunduh atau mengirim surat elektronik (e-mail) ke kantor polisi. Pengalaman penulis ketika menjadi reporter, permintaan data ke lembaga pemerintah, apalagi di tingkat daerah, sangat langka terkabul.
Indonesia memang memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang disahkan pada 2008, tapi instrumen yang disediakan beleid tersebut tidak ramah bagi jurnalis. Proses gugatan atas sebuah instansi yang menolak memberikan data publik bisa menghabiskan berbulan-bulan, padahal jurnalis bekerja dengan tenggat harian atau mingguan. Oleh sebab itu, mekanisme UU tersebut tidak menjadi pilihan jurnalis. Bahkan, ketika gugatan dikabulkan pun instansi yang dimintai data kerap menolak menyerahkan datanya.
Kalaupun ada lembaga yang secara berkala memuat dan memperbarui data, umumnya format data menjadi problem untuk dioleh oleh tim jurnalis data. Walhasil, tim jurnalis data harus bekerja lebih lama untuk mengkonversi format data agar sesuai dengan piranti lunak yang digunakan untuk memproses data tersebut. Akibatnya, proses produksi lebih panjang dan dianggap kurang efisien oleh perusahaan. Padahal, di sejumlah media, JD hanya pekerjaan tambahan bagi wartawan yang sudah sibuk dengan tugas rutinnya.
Keterbatasan Keterampilan
Jika keterbukaan data merupakan faktor eksternal yang menjadi penghambat, faktor internal lebih pada keterbatasan keterampilan bagi para wartawan yang ingin menekuni JD. Seorang jurnalis data, antara lain, dituntut akrab dengan angka dan perhitungan. Namun, ada keengganan sebagian jurnalis untuk bermain dengan angka karena jeri dengan matematika (math aversion). Akibatnya, kemampuan untuk menganalisis data pun menjadi sangat terbatas, bahkan untuk menemukan isu menarik dari sebuah rangkaian angka.
Keengganan tersebut juga membuat banyak jurnalis tidak terbiasa dengan spreadsheet atau excel, yang merupakan software dasar untuk mengolah angka. Padahal, untuk mengelola data yang lebih besar (big data) diperlukan piranti lunak yang lebih rumit lagi. Di sisi lain, problem teknis seperti kesesuaian piranti lunak visualisasi dengan sistem IT yang sudah dipakai perusahaan media juga menjadi kendala. Hanya sedikit perusahaan media yang bisa mengalokasikan sumber daya manusianya untuk membuat software visualisasi data.
Namun, berbagai kendala tersebut tidak otomatis membuat masa depan JD di Tanah Air suram. Pelatihan-pelatihan yang digelar di berbagai kota selalu dipenuhi jurnalis muda. Pewarta milenial ini tekun membiasakan diri dengan berbagai software pengolahan dan visualisasi data. Alih-alih mengandalkan data pemerintahan, mereka membuat basis data sendiri. Mereka bahkan membentuk jaringan jurnalis data untuk saling berbagi pengetahuan terbaru. Di tangan mereka kita bisa berharap JD Indonesia bisa berkembang.
*Versi panjang tulisan ini telah dimuat di Jurnal Dewan Pers edisi November 2019, dengan judul “Jurnalisme Data, Jurnalisme Kolaborasi”.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.