Pejuang HIV & AIDS Di Bumi Timor

Yayasan Tanpa Batas KATADATA | Donang Wahyu
Penulis: Arsip
1/8/2014, 13.54 WIB

Seorang perempuan menenun sehelai kain di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Beberapa warga lainnya duduk berteduh di bawah pohon. Siang itu, sinar matahari terasa menyengat di Desa Noelbaki, lokasi kamp pengungsian warga Timor Timur. Mereka adalah warga yang ikut mengungsi saat referendum 1999 ke Indonesia.

Tiga belas tahun mereka masih bertahan di lokasi pengungsian ini. Tinggal dibalik rumah yang terbuat dari bilah bambu beralaskan tanah. Saat ini, mereka bekerja sebagai buruh tani atau tukang ojek di terminal. Warga eks pengungsi Timor Timur ini tersebar di enam kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut data Bappenas, jumlah pengungsi ini mencapai 24.524 kepala keluarga. Sebanyak 4 ribu lebih kepala keluarga masih tinggal di kamp pengungsian. ?Mereka tinggal di tempat yang tak layak huni. Pendidikan juga terbatas. Dan kini, ada 8 kasus masalah HIV/AIDS,? kata Deni Sailana dari Yayasan Tanpa Batas. Sejak 2003 yayasan ini mengkampanyekan kesehatan reproduksi dan advokasi masalah HIV/AIDS di NTT. 

Posisi NTT persis berada di jantung antara Papua, Australia, Timor Leste, Nusa Tenggara Barat dan Bali. Posisi strategis ini menyebabkan NTT rawan terjadinya kasus penyebaran HIV/AIDS dan masalah kesehatan reproduksi.Menurutnya, kasus penyebaran HIV/AIDS dan masalah kesehatan reproduksi di NTT semakin meroket dari tahun ke tahun. Menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi NTT, sejak tahun 1997 hingga 2013 tercatat 2745 kasus HIV/AIDS. Dengan kasus kematian sebanyak 535 jiwa. 
Kebanyakan usia produktif antara 21 hingga 45 tahun. Mereka yang terkena HIV/AIDS kebanyakan ibu rumah tangga sebanyak 581 jiwa. Sisanya karyawan swasta sebanyak 580, petani sebanyak 380 dan perempuan seks komersil sebanyak 130 orang. 

?Masalah utamanya adalah kemiskinan, pendidikan dan budaya,? kata Deni Sailana. Di Timor, menurutnya dikenal dengan istilah sunat sifon atau sunat tradisional. Praktik sunat tradisional ini dilakukan oleh dukun kampung. Dan menyarankan agar si pasien berhubungan badan dengan tiga orang perempuan. 

?Ada pembenaran dan mereka percaya akan menyembuhkan luka,? katanya. Praktik dan mitos ini ternyata memperparah penyebaran kasus HIV/AIDS dan gangguan kesehatan reproduksi. Korban paling banyak adalah perempuan.

Yayasan Tanpa Batas dengan dukungan PNPM Peduli bergerak agar masyarakat sadar bahwa praktik seperti ini tidak benar. Salah satunya merangkul para dukun sunat ini mengajarkan praktik sunat sehat. Mulai dari peralatan yang higienis hingga menghentikan perilaku mitos keperkasaan. Selain itu, bersama relawan dan staf juga terus mengkampanyekan soal isu ini ke tempat lokalisasi dan wilayah pesisir.

?Kami latih manajemen keluarga agar keuangan bisa dikontrol, risiko-risiko kesehatan hingga edukasi di gereja,? katanya. Tak mudah melakukan kampanye kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS di NTT. Warga masih sungkan berbicara kesehatan reproduksi. Selain itu, akses dari satu kampung ke kampung lainnya berjauhan. 

 Yayasan Tanpa Batas menjadi mitra PNPM Peduli. Program ini menjangkau kaum marjinal yang selama ini tersisihkan dalam pembangunan. Program ini telah menjangkau 15 ribu lebih di 24 provinsi di seluruh Indonesia. 

?Kita terus bikin edukasi agar masyarakat sadar. Sebelumnya, warga tidak mengetahui kondisi dirinya sendiri. Sekarang mulai ada perubahan perilaku. Mereka mau periksa kesehatan reproduksinya,? kata Deni Sailana. 

Foto & Teks:  KATADATA | Donang Wahyu

Reporter: Donang Wahyu