Sejak awal pekan lalu, Panama papers telah menghebohkan dunia. Dokumen yang dirilis oleh organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) secara serentak di seluruh dunia ini memuat bocoran data firma hukum Mossack Fonseca di Panama. Ada 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara. Mulai dari 12 pemimpin dan bekas pemimpin negara, pengusaha, selebriti, hingga atlit seperti pemain sepakbola Lionel Messi, yang memiliki perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak (tax havens).
Ratusan nama orang Indonesia juga masuk dalam daftar Panama Papers. Seperti dilansir Tempo, di antaranya pengusaha Sandiaga Uno, Muhammad Riza Chalid yang terbelit kasus "Papa Minta Saham" hingga Ketua BPK Harry Azhar Aziz.
"Butuh waktu dua minggu untuk merekonsiliasi data Panama Papers," kata Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso dalam diskusi "Bedah Kasus Aset Indonesia di Negeri Suaka Pajak" di Kedai Pos, kawasan Kota Tua, Jakarta, Selasa (12/4). Diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Indonesia Untuk Jurnalisme Investigasi (Jaring) bekerja sama dengan Katadata ini, juga menghadirkan pembicara: Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, akuntan forensik Theodorus M Tuanakotta, jurnalis Tempo yang menelisik dokumen Panama Papers Wahyu Dhyatmika, dan Metta Dharmasaputra, jurnalis yang menginvestigasi kasus pajak terbesar di Indonesia, Asian Agri.
Agus berpendapat, patut dicurigai bila ada pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang mempunyai rekening atau perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Sedangkan Prastowo menyatakan, orang yang diduga terkait dengan kejahatan akan menuntut upaya pembuktian terbalik. "Kita belum sampai pada level etis bagaimana pejabat bisa malu," katanya. "Harus ada aksi nyata dengan adanya bocoran data Panama Papers."