Di lokasi ini kerap terdengar bising yang memekakkan telinga. Suara itu berasal dari perkakas para pekerja di salah satu sudut Sungai Cilincing, Jakarta Utara yang beradu dengan tubuh kapal. Mereka sedang mencincang besi dari bangkai kapal.
Ya, memutilasi onggokan kerangka kapal merupakan usaha mereka, yang sudah dijalani puluhan tahun ketika sebagian lainnya gulung tikar lantaran kehabisan modal usaha dengan menyisakan kerugian besar. Melencengnya prediksi bobot besi kapal menjadi salah satu penyebab utama mereka tekor.
“Kalau membeli kapal, ya, kira-kira saja memprediksinya. Misalnya, satu kapal seharga Rp 3,5 miliar dengan berat 850 ton. Sesudah dipotong lalu dijual, ternyata besinya tidak sampai 800 ton. Rugi. Pabrik tutup,” kata Satriawan, 32, seorang warga Cilincing.
Waktu untuk membelah-belah kapal berbeda-beda, tergantung ukuran armada laut itu. Kapal Golden Ocean, misalnya, berbobot 90 ribu ton dan diperkirakan membutuhkan waktu setahun. Para pembelah kapal ini bekerja dari pagi sampai sore dengan upah bervariasi. Ada yang bertugas sebagai pemotong, pemilah besi, hingga sekadar mengaitkan besi-besi ke mesin katrol untuk diletakan ke darat.
Oscar Syahputra, 18, misalnya, bertugas sebagai pemotong besi. Ia bisa mendapatkan upah Rp 230 ribu per hari. Lain halnya dengan Tsamirin, 46, yang bekerja sebagai pemilah besi dan penjaga generator agar tetap menyala. Ia hanya memperoleh upah Rp 90 ribu per hari.