Kebijakan penyelamatan Bank Century untuk antisipasi potensi krisis ekonomi 2008 menyisakan konsekuensi politik yang panjang bagi para pengambil kebijakan ketika itu, termasuk Boediono yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). Apa yang akan dilakukan Boediono bila bisa mengulang waktu ke masa itu?
“Itu bukan keputusan satu orang, itu satu, suasana pada waktu itu sudah sangat serius menurut pandangan lain. Jangan sampai kita mengalami krisis,” kata Boediono dalam acara Katadata Forum “Winning in a Turbulent Economy” di DJakarta Theater XXI, Jakarta, Rabu (28/11).
Ia menjelaskan dirinya telah lama di pemerintahan dan kondisi ketika itu memang perlu ditangani. Boediono sudah berkarier di pemerintahan saat terjadi krisis-krisis kecil imbas jatuhnya harga minyak di era tahun 80-an. Begitu juga saat krisis moneter 1998.
(Baca juga: “Mengejar Fajar”: Mengupas Upaya Penyelamatan Bank Century)
“Waktu itu pemikiran satu jangan sampai ekonomi jeblok lagi, karena biaya ekonomi besar sekali. Sosial mundur, kesejahteraan juga mundur. Banyak pengangguran,” ujarnya. “Kami lakukan yang terbaik dari segi praktik dan teori dari sisi kebijakan.”
Yang jelas, menurut dia, bila ada bank sakit, jangan buru-buru ditutup. “Nanti saja ditutupnya,” kata dia. Sebelumnya, ia sempat menjelaskan tentang resep kebijakan yang salah dari International Monetary Fund (IMF) di 1997 lantaran kondisi ketika itu baru bagi semua pihak. Sebanyak 16 bank ditutup tanpa adanya payung pengaman berupa penjaminan total alias blanket guarantee.
Setelah itu, beredar desas-desus ada bank yang menyusul untuk ditutup sehingga terjadi rush alias penarikan dana nasabah dari bank-bank kecil ke bank besar. Kekhawatiran mengalami eskalasi hingga nasabah memindahkan dana dari bank swasta besar ke bank-bank BUMN, bahkan nasabah pemilik dana besar ada yang memindahkan dananya ke bank di luar negeri. Rush baru berhenti setelah ada keputusan pemerintah untuk memberikan blanket guarantee.
Boediono mengatakan, risiko politik yang terus dihadapinya hingga saat ini tidak terpikir saat antisipasi krisis 2008 dijalankan. “Waktu itu, kalau Anda tanya, enggak pernah pikir risiko politik, risikonya, risiko ekonomi,” kata dia.