Penelitian International Finance Corporation World Bank Group, yang dikeluarkan pada Maret 2016, memaparkan bahwa 80 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dimiliki perempuan menghadapi tantangan berupa tidak atau kurang terlayani perbankan karena prosedur yang dianggap memberatkan.
Beberapa perempuan pengusaha UMKM mengatakan, mereka membutuhkan izin dari suami jika ingin mengajukan aset sebagai agunan atau melikuidasi aset untuk modal. Hal tersebut dinilai merepotkan dan menyebabkan perempuan pemilik UMKM lebih sering meminjam dari kerabat atau teman.
Amartha Indonesia menangkap peluang ini. Amartha merupakan sebuah platform peer-to-peer (P2P) lending untuk membantu para perempuan pelaku UMKM di daerah mendapatkan pendanaan. P2P lending adalah metode pemberian pinjaman uang kepada individu atau bisnis yang dihubungkan secara online.
Risya Nurfitriani, Product and Business Development Amartha, mengatakan awalnya, platform teknologi finansial ini berbentuk lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi pada 2010, sebelum bertransformasi menjadi layanan P2P lending marketplace.
Di awal pembiayaan, Amartha memberikan pinjaman sebesar Rp 500 ribu per orang. Jumlah itu akan meningkat setiap tahunnya jika anggota berhasil membayar angsuran tepat waktu, hadir setiap minggu untuk pembinaan, dan tidak pernah ditanggung renteng. Tanggung renteng adalah penalangan bersama untuk anggota yang gagal membayar angsuran.
Tahun lalu, Amartha menargetkan penyaluran pinjaman Rp 700 miliar. Hingga awal Desember 2018, total penyaluran kredit mencapai Rp 705,4 miliar dan disalurkan kepada 167.346 peminjam perempuan di 3.500 desa di Pulau Jawa. Adapun, rasio kredit bermasalah (non-performing loan atau NPL) atau keterlambatan membayar di bawah 90 hari masih 0 persen. Sementara NPL di atas 90 persen mencapai 0,8 persen.
Amartha juga memperluas jangkauannya ke sejumlah wilayah di luar Pulau Jawa. Perusahaan sedang mengkaji prospek bisnis di beberapa lokasi, seperti Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. “Salah satu cara untuk menentukan daerah yang akan menjadi sasaran kami adalah dengan melihat angka indeks kemiskinan, serta keberadaan komunitas ibu-ibu yang bersedia untuk mengikuti pelatihan,” kata Risya.
Pengembangan Kapasitas
Selain akses pendanaan, pengembangan kapasitas terhadap perempuan pemilik UMKM juga diperlukan.
Martina Estrely, Learning Program Designer Kinara Indonesia, mengaku saat ini cukup kesulitan menemukan pemilik UMKM, terutama perempuan, yang siap dan layak diberi investasi. Sebab, masih banyak pemilik UMKM yang belum memenuhi standar diberi permodalan.
Beberapa pertimbangan agar UMKM bisa memperoleh investasi antara lain dilihat dari market size perusahaan dan potensi industrinya. “Sekarang yang kami cari adalah yang sudah memiliki revenue, karena berarti sudah ada pasarnya. Juga yang sudah memiliki karyawan,” kata Martina.
Untuk mengakali sulitnya menemukan UMKM yang ready-to-invest, Kinara Indonesia melakukan pencarian UMKM yang berpotensi dan membekali mereka dengan berbagai pengembangan kapasitas melalui program percepatan bisnis.
Beberapa hal yang dikembangkan melalui program tersebut di antaranya perbaikan manajemen tim, tata kelola perusahaan, manajemen produk, manajemen keuangan, pemasaran, manajemen strategis, akses ke pasar, dan alternatif pembiayaan bisnis.
“Pemberian capacity building tidak bisa pukul rata, karena kondisi dan kesiapan UMKM juga berbeda-beda,” Martina menambahkan.
Pengembangan kapasitas juga diperlukan agar bisnis bisa berkelanjutan. Hal ini yang dirasakan oleh Larasati Widyaputri, CEO dan Founder Ecodoe, brand suvenir yang bekerja sama dengan para produsen dan perajin lokal di daerah.
“Kebanyakan para perajin lokal tidak memiliki kemampuan dalam pemasaran, sehingga meskipun produk yang mereka hasilkan berkualitas, tapi tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas,” kata Larasati.
Ecodoe memberikan pengembangan kapasitas kepada para perajin, mulai dari metode pemasaran dengan mengajarkan mereka mengakses konsumen secara digital, hingga peningkatan desain dan teknologi produksi, bekerja sama dengan desainer profesional agar sesuai dengan pasar yang dituju.
Saat ini Ecodoe telah bekerja sama dengan 273 perajin lokal dan telah melayani lebih dari 12.000 klien. Setidaknya dalam enam bulan, sebanyak 175.000 buah suvenir untuk berbagai keperluan terjual. (*)
This article was produced in partnership with Investing in Women, an initiative of the Australian Government that promotes women’s economic empowerment in South East Asia.