Rencana Tax Amnesty Jilid II Ditentang karena Perburuk Sistem Pajak

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menolak wacana pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II karena akan berdampak buruk bagi sistem perpajakan Indonesia.
3/8/2019, 06.00 WIB

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menolak wacana pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Ia menganggap, wacana tersebut akan berdampak buruk bagi sistem perpajakan Indonesia.

"Kami tidak setuju dan menolak tegas wacana tax amnesty jilid II sebagaimana beredar dan diwacanakan, oleh siapa pun," katanya dalam keterangan resmi,  Jumat (2/8).

Ia melanjutkan, kewibawaan dan otoritas negara haruslah melampaui urusan-urusan partikular dan kepentingan sesaat yang sangat subjektif dan oportunistik. Pemerintah sebaiknya tegas dan fokus pada reformasi perpajakan dengan cara lain.

Cara tersebut dijelaskan Prastowo seperti menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.

Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel jauh lebih penting dan mendesak. "Ketimbang terus berkompromi dengan kelompok dan pihak yang memang sejak awal tidak punya niat untuk patuh dan terbiasa menjadi penumpang gelap republik ini," tulisnya.

(Baca: Sri Mulyani Kaji Terapkan Tax Amnesty Jilid II)

Adapun menurut Prastowo, pengampunan pajak yang diberikan pada tahun 2016-2017 sudah menunjukkan kebaikan hati pemerintah untuk menunda penegakkan hukum. Hal tersebut seharusnya dimanfaatkan dengan maksimal oleh wajib pajak.

Apalagi, program tax amnesty sudah diikuti keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui Perppu 1 Tahun 2017/UU No. 9 Tahun 2017. Hal ini sejalan dengan peta jalan penegakan hukum pasca tax amnesty yang akan lebih efektif jika didukung data/informasi yang akurat.

Saat ini, sudah dibuat pemetaan dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko yang terdiri dari tinggi, sedang, dan rendah. Wajib pajak yang selama ini sudah patuh atau sudah ikut tax amnesty dengan jujur masuk dalam kategori risiko rendah. Sedangkan, di luar itu masuk kategori risiko sedang dan tinggi sesuai kondisi kepatuhannya. "Merekalah yang menjadi sasaran pembinaan (risiko sedang) dan penegakan hukum (risiko tinggi)," ujarnya.

Karena itu, Prastowo mengajak semua pihak terutama institusi negara, memperkuat dan memback-up penuh Ditjen Pajak untuk melakukan reformasi pajak dan penegakan hukum yang terukur, imparsial, objektif, dan fair. "Apalagi reformasi pajak telah diiringi dengan kebijakan insentif yang cukup signifikan dan kelonggaran penegakan hukum," katanya.

Sri Mulyani Pertimbangkan Tax Amnesty Jilid II

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sedang mempertimbangkan untuk melakukan tax amnesty jilid II. Hal ini sebagai respon banyaknya aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, terutama para pengusaha.

Rencana tersebut, Sri Mulyani mengatakan, sudah tertuang dalam paket reformasi pajak yang sedang disusun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Nanti akan kami sampaikan kepada presiden bagaimana keseluruhan kebijakan perpajakan sesuai dengan arahan beliau dan tentu juga memasukkan aspirasi dunia usaha," katanya di Menara Kadin Indonesia.

Sri Mulyani mengaku, memang banyak pengusaha yang menyesal karena tidak mengikuti tax amnesty 2016-2017. Ketika itu Kementerian menyelenggarakan pengampunan pajak dalam jangka waktu sembilan bulan.

Dengan waktu sepanjang itu, Sri Mulyani cukup kecewa karena hanya sedikit wajib pajak (WP) yang mengikuti program tersebut. "Kemarin itu yang ikut cuma satu juta WP. Jumlahnya sangat rendah dibanding ekspektasi kita," ucap dia.

Dirinya pun menilai, rendahnya partisipan dalam penyelenggaraan tax amnesty dikarenakan belum adanya sistem elektronik yang memadai. Sistem yang dimaksud yakni keterbukaan dan pertukaran informasi.

(Baca: Kadin Usul Tax Amnesty Jilid II Kurang dari Sembilan Bulan)

Dalam program tax amnesty 2016-2017, jumlah pesertanya mencapai 974.058 pelaporan surat pernyataan harta (SPH), dari 921.744 wajib pajak. Adapun jumlah tersebut masih kecil dibandingkan potensi wajib pajak di tanah air.

Namun, deklarasi harta yang berhasil dilaporkan mencapai Rp 4.813,4 triliun dan repatriasi Rp 46 triliun. Dari sisi angka tebusan dan harta yang dideklarasikan, jumlah tersebut cukup besar.

Berdasarkan grafik Databoks berikut ini, dana repatriasi dari Singapura pada program tax amnesty 2016-2017 mencapai Rp 83,25 triliun. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan jumlah dana dari negara lainnya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani menyambut baik sinyal Kementerian Keuangan yang akan melaksanakan lagi program pengampunan pajak.

"Saya mendengar juga masukan dari para pengusaha yang banyak menyesal tidak ikut tax amnesty yang pertama. Jadi kemungkinan selanjutnya akan lebih banyak peminatnya," ucapnya.