Perjanjian dagang tahap satu antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akan segera diteken hari ini, Rabu (15/1), di Washington. Isi dari perjanjian tersebut di antaranya Tiongkok akan menambah pembelian produk pertanian, manufaktur, dan energi dari AS.
Meski demikian, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai perjanjian dagang AS-Tiongkok tidak akan berdampak signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia.
Pasalnya, ekonomi Indonesia tidak mengandalkan ekspor dan impor. "Apapun yang terjadi pada Amerika dan Tiongkok pengaruhnya sangat kecil bagi Indonesia. Dampaknya ke (ekspor-impor) Indonesia hanya 0,17%," kata Faisal di Jakarta, Rabu (15/1).
Namun, dia mengatakan efek perjanjian dagang AS-Tiongkok cukup terasa pada beberapa negara di ASEAN. Malaysia dan Singapura akan merasakan dampak terbesar. "Pengaruhnya paling besar dirasakan Malaysia, 0,7% (terhadap ekspor-impor)," ujarnya.
(Baca: AS - Tiongkok Bersiap Teken Kesepakatan untuk Redam Perang Dagang)
Selain itu dia menyebutkan bahwa neraca perdagangan Indonesia masih akan bergantung pada ekspor komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara. Batu bara berkontribusi hingga 20,6% terhadap ekspor neto Indonesia, sedangkan kelapa sawit menyumbangkan lebih dari 10% ekspor neto.
Sehingga kinerja neraca perdagangan akan lebih ditentukan bagaimana kinerja ekspor komoditas baik dari sisi volume maupun nilainya. "Kalau produksi komoditinya bagus akan surplus, tapi kalau komoditinya jelek ya defisit," kata Faisal.
Seperti diketahui menjelang tutup tahun 2019 perang dagang antara AS dan Tiongkok mulai menemukan jalan damai yang kemudian disepakati perjanjian dagang tahap I. AS pun memastikan komitmen Tiongkok terhadap kesepakatan dagang tahap I tak berubah selama proses penerjemahan dokumen yang akan diteken di Washington hari ini.
(Baca: Ekspor-Impor Lesu, Defisit Neraca Dagang 2019 Turun jadi US$3,2 Miliar)
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa kesepakatan dengan Tiongkok yang dicapai pada 13 Desember 2019 menyebutkan Negeri Panda sepakat untuk menambah pembelian produk pertanian AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar setiap tahun dan total US$ 200 miliar barang AS selama dua tahun.
"Kami telah melalui proses penerjemahan yang saya pikir ini benar-benar masalah teknis. Pada hari penandatanganan, kami akan rilis versi bahasa Inggris dan orang-orang dapat melihat, ini adalah perjanjian yang luas," ujar Mnuchin dikutip dari Reuters, Senin (13/1).
(Baca: Rupiah Melemah ke 13.695 per Dolar AS Tertekan Defisit Neraca Dagang)