Meski Tarif Pajak Turun, Penerimaan dari Freeport Tetap Menguntungkan

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Menteri ESDM Ignasius Jonan (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) menyaksikan penandatanganan nota pendahuluan perjanjian oleh Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium Budi Gunadi (ketiga kanan) dan Presiden Direktur Freeport McMoran, Richard Adkerson (kedua kiri) terkait pokok-pokok kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (12/7).
Penulis: Rizky Alika
27/12/2018, 19.59 WIB

Setelah berpuluh tahun berpegang pada kontrak karya (KK), kuasa pertambangan yang dikelola PT Freeport Indonesia akhirnya akan berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Hal itu setelah akhir pekan lalu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menyelesaikan divestasi 51,2 % saham perusahaan asal Amerika Serikat itu.

Dengan perubahan status perizinan ini, beberapa ketentuan pun ikut berganti termasuk mengenai perpajakan dan royalti. Nilai Pajak Penghasilan (PPh), misalnya turun menjadi 25%. Sewaktu berstatus kontrak karya, mereka menanggung pajak 35%. Namun nilai sejumlah royalti naik. Emas, sebagai contoh, royaltinya naik dari 1% menjadi 3,75 % dan tembaga dari 1,5 menjadi 4 %.

(Baca: Bupati Dibatasi Waktu 5 Hari Tentukan Wilayah Izin Pertambangan)

Walau persentase pajak ini berkurang, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan skema pajak tetap (nail down) tersebut lebih menguntungkan dari segi penerimaan. Sebab, ada kecenderungan ketentuan tarif pajak dalam tren penurunan untuk memberikan daya saing di tengah penurunan tarif pajak di negara lainnya.

Dengan demikian, skema pajak tetap lebih menguntungkan. “Lebih menguntungkan jika dipatok sejak awal karena tarif terjamin 25 % sampai IUPK selesai,” kata Parstowo kepada Katadata.co.id, Rabu (26/12). Sementara dari sisi dividen, pendapatan pemerintah akan lebih besar lantaran porsi kepemilikan melalui Inalum sudah mencapai 51 %.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan pemerintah akan menggunakan skema nail down untuk pajak Freeport. Skema ini dinilai memberikan kepastian berusaha dan kepastian pajak serta penerimaan negara. “Sesuai amanat UU Minerba, dengan renegosiasi ini dipastikan bahwa penerimaan negara akan meningkat,” ujar dia.

(Baca: Aturan Baru, Izin Ekspor Terbit Jika Pembangunan Smelter Capai Target)

Dengan perubahan status IUPK, Freeport akan mengikuti ketentuan yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2018. Selain itu, ada kepastian hukum untuk Freeport berupa izin usaha.

Berdasarkan UU Minerba, ada 10 % dari laba menjadi tambahan penerimaan negara yang dibagi antara pusat dan daerah. Angka tersebut di luar tarif PPh 25 %. “Kombinasi keduanya comparable dengan tarif PPh terdahulu yang 35 %,” ujar Suahasil.

Menurut dia, tambahan penerimaan negara utamanya muncul dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Selain itu, Freeport akan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara penuh serta ditetapkan sebagai wajib pungut untuk administrasi PPN.

(Baca: Gunakan Skema Pajak Tetap, Keinginan Freeport Terpenuhi)

Seperti diketahui pada tahun lalu  Freeport telah memberikan royalti sebesar US$ 756 juta, setara Rp10 triliun kurs saat itu. Awal tahun ini, Direktur Eksekutif sekaligus Vice Presiden Freeport Indonesia Tony Wenas menyatakan realisasi tersebut berupa pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari iuran produksi atau royalti dan iuran tetap.