Kementerian Badan Usaha Milik Negara atau BUMN dan DPR tengah membahas skema penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Beberapa opsi yang dibahas yaitu suntikan modal dari pemerintah berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 15 triliun dan likuidasi.
Opsi tersebut pun didukung oleh salah satu nasabah Jiwasraya, Machril (66), yang mengatakan suntikan modal dari pemerintah bisa digunakan jiwasraya untuk membayar cicilan kepada pemegang polis. Solusi itu relatif cepat, mengingat Menteri BUMN Erick Thohir, berjanji untuk membayarkan cicilan kepada nasabah mulai akhir Maret 2020.
"Jelas kami lebih memilih opsi PMN daripada likuidasi, meski harus menunggu 2021. Tapi Kami inginnya agar solusi ini lebih cepat," kata Machril kepada Katadata.co.id, Selasa (3/3)
Lebih lanjut, Machril mengatakan opsi likudiasi bukan merupakan langkah tepat dalam menyelamatkan Jiwasraya. Sebab, Jiwasraya harus menyelesaikan kewajibannya terlebih dahulu sebelum dilikuidasi.
Selain itu, aset-aset milik Jiwasraya saat ini nilainya sangat rendah, tidak sebanding dengan tunggakannya."Kami tidak setuju Jiwasraya dilikuidasi karena asetnya hanya Rp 2 triliun, sementara tunggakannya lebih dari itu," katanya.
(Baca: Tak Terlibat Kasus Jiwasraya, Kejaksaan Buka Blokir 25 Rekening Efek )
Nasabah Jiwasraya lainnya, Rudhyanto mengatakan skema dalam menyelamatkan Jiwasraya bisa melalui berbagai macam. Namun, dia mengusulkan sumber dana berasal dari pemerintah agar menggambarkan negara hadir untuk menyelesaikan masalah gagal bayar tersebut.
"Penyelematan Jiwasraya tidak boleh dibuat pakai cara-cara yang tidak menunjukkan negara hadir dalam menyelesaikan masalah itu," kata Rudhyanto.
Salah satu cara agar pemerintah mendapatkan dana untuk penyelamatan Jiwasraya, yaitu dengan melakukan penundaan beberapa program atau efisiensi anggaran. "Atau mengurangi budget kegiatan tidak produktif agar biayanya digunakan untuk mengembalikan kewajiban pemerintah dan Jiwasraya terhadap nasabahnya," katanya.
Di sisi lain, Machril juga menuntut Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator tidak lepas tangan dalam penyelamatan perusahaan asuransi milik negara tersebut. Dia menilai kasus ini tak lepas dari lemahnya pengawasan OJK di sektor industri keuangan nonbank.
Rudhyanto juga menilai bahwa OJK lemah dalam mengawasi industri asuransi hingga timbul masalah gagal bayar Jiwasraya. Jika OJK lebih ketat mengawasi, maka seharusnya hal ini tidak perlu terjadi.
(Baca: Kejaksaan Kaji Permintaan Bentjok untuk Sidik Jiwasraya Mulai 2006)
Sebelumnya, pemerintah dan DPR membahas beberapa opsi penyelamatan Jiwasraya. Dalam rapat panitia kerja antara BUMN, Komisi VI dan XI DPR mengemuka opsi suntikan dana Rp 15 triliun dari pemerintah kepada Jiwasraya melalui skema PMN.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirdjoadmodjo mengatakan opsi tersebut terus dibahas oleh pemerintah dan DPR. "Belum diputuskan karena butuh koordinasi antara komisi VI, XI dan persetujuan OJK dan Kementerian Keuangan," kata Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirdjoadmodjo usai pertemuan di Gedung DPR/MPR, Jakarta (25/2).
Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyatakan suntikan dana senilai Rp 15 triliun melalui skema PMN bukan menjadi prioritas dari penyelamatan Jiwasraya. "Karena masih beberapa skenario yang didalami," kata Arya.
Arya menyatakan opsi tersebut untuk memperkuat fundamental industri asuransi pelat merah, bukan sekedar penyelamatan Jiwasraya. Dia menyatakan BUMN harus memikirkan bagaimana pasar industri asuransi semakin sehat di masa depan dan memastikan masalah Jiwasraya tidak terulang lagi.
(Baca: Efek Jiwasraya, OJK Bakal Batasi Penjualan Produk Investasi Lewat Bank)