Laba bersih Bank Negara Indonesia (BBNI) berisiko tertekan tahun ini. Hal tersebut berdasarkan analisis tim riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia. Risiko tersebut di antaranya imbas peningkatan provisi atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) kredit.

Tim riset Mirae mencatat, pada kuartal II 2019, portofolio kredit BNI di Krakatau Steel sebesar Rp 5,5 triliun, dan di Duniatex sekitar Rp 500 miliar, dengan provisi masing-masing 15% dan 1%. Seiring naiknya status kredit Duniatex menjadi kredit seret (NPL), BNI menaikkan provisinya menjadi 26%  pada Juli dan Agustus lalu.

Di sisi lain, kredit Krakatau Steel masih berstatus lancar, namun provisi naik 3% sampai 18%. Manajemen BNI disebut berencana menaikkan provisi menjadi 30% pada akhir tahun. “Maka itu kami memprediksi laba operasi naik 5,1%, namun pertumbuhan secara total negatif karena kenaikan provisi,” kata tim riset Mirae dalam paparan tertulis, Senin (21/10).

(Baca: Cemas Gagal Bayar Utang Korporasi, Investor Asing Jual Saham Bank BUMN)

Seiring perkembangan tersebut, laba bersih diprediksi hanya sebesar Rp 3,42 triliun pada kuartal III 2019, turun 14,5% secara tahunan, dan lebih rendah 3,8% dibandingkan kuartal sebelumnya.

Adapun dari sisi margin bunga bersih (NIM), tim riset Mirae meyakini kondisinya membaik pada paruh kedua tahun ini, tapi perbaikannya kemungkinan terbatas pada tahun depan. Ini seiring pemangkasan bunga acuan sebesar 0,75% sepanjang Juli-September 2019.

Berdasarkan survei yang dilakukan Mirae, bank cenderung menekan bunga deposito -- dengan jumlah yang kecil pada banyak kasus -- tapi tidak melakukan penyesuaian bunga kredit pada kuartal III 2019. Atas dasar itu, tim riset Mirae menilai tren penurunan NIM kemungkinan tidak berlanjut. Bagi BNI, NIM cenderung datar atau naik pada kuartal III dan IV 2019.

(Baca: Menimbang Prospek Bisnis Duniatex di Tengah Belitan Utang)

Di sisi lain, tim riset Mirae melihat adanya pengetatan likuiditas yang tercermin dari peningkatan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) seiring pertumbuhan pesat kredit. Per Agustus, LDR tercatat 96,8%. Sedangkan pertumbuhan kredit tercatat mereda dari 20,1% secara tahunan per Juli menjadi 19,7% secara tahunan per Agustus.

“Maka itu kami berekpektasi tekanan NIM akan dimulai pada 2020, utamanya dimotori oleh rata-rata bunga kredit yang lebih rendah,” kata tim riset Mirae.

Dengan mempertimbangkan kenaikan provisi dan tekanan NIM, tim riset Mirae merevisi turun 11,3% prediksi laba bersih BNI menjadi Rp 14,44 triliun pada 2019. Sedangkan prediksi laba unuk 2020 direvisi turun 9,3% menjadi Rp 16,55%.

(Baca: Rencana PTPP Akuisisi Anak Krakatau Steel Temui Jalan Buntu)

Prediksi laba BNI yang sebesar Rp 14,4 triliun tersebut 3,8% lebih rendah dibandingkan pencapaian tahun lalu. Sedangkan prediksi laba tahun depan yang sebesar Rp 16,55 triliun naik 14,6% dari proyeksi tahun ini.

Seiring proyeksi tersebut, tim riset Mirae menurunkan rekomendasi atas saham BNI dari “Buy” menjadi “Hold”. Proyeksi target harga pun direvisi dari Rp 10.900 menjadi Rp 8.000. Risiko atas proyeksi ini adalah progres pembangunan infrastruktur yang lebih lambat, perlambatan ekonomi domestik, likuiditas yang lebih ketat, dan terbatasnya kenaikan NIM pada 2019.