Perusahaan masih mengkaji kemungkinan pelepasan anak usaha lewat jalur IPO. Perusahaan baja pelat merah Krakatau Steel telah menyelesaikan restrukturisasi utang sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 27 triliun di 10 bank nasional. Restrukturisasi utang ini disebut-sebut sebagai yang terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Kesepakatan restrukturisasi telah ditandatangani oleh ke-10 bank secara bertahap pada periode 30 September 2019 sampai 12 Januari 2020. Bank yang dimaksud yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), ICBC Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Bank Central Asia (BCA), Bank DBS Indonesia, Bank OCBC NISP, Standard Chartered Bank, dan CIMB Niaga.
(Baca: Benahi Utang, Krakatau Steel Akan Gandeng PT PPA)
Dengan restrukturisasi utang ini, beban bunga dan kewajiban pembayaran pokok pinjaman menjadi lebih ringan sehingga membantu perbaikan kinerja dan memperkuat arus kas perusahaan. Adapun restrukturisasi ini untuk periode waktu sembilan tahun yaitu dari 2019 sampai 2027.
"Melalui restrukturisasi ini, total beban bunga sembilan tahun utang dapat diturunkan secara signifikan dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Selain itu, penghematan biaya bisa didapatkan dari restrukturisasi utang selama sembilan tahun sebesar US$ 685 juta," kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam Konferensi Pers di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (28/1).
Rincian pinjaman Krakatau Steel dengan total US$ 2 miliar di 10 Bank
1. Bank Mandiri US$ 618,29 juta
2. BNI US$ 425,92 juta
3. BRI US$ 337,39 juta
4. CIMB Niaga US$ 238,34 juta
5. OCBC NISP US$ 138,66 juta
6. ICBC Indonesia US$ 44,27 juta
7. LPEI US$ 79,83 juta
8. DBS Indonesia US$ 48,62 juta
9. Standard Chartered US$ 25,62 juta
10. BCA US$ 48,69 juta
Lebih lanjut, Silmy menjelaskan pihaknya sudah melakukan banyak langkah sepanjang 2019 untuk transformasi bisnis. Selain restrukturisasi utang, perusahaan melakukan optimalisasi tenaga kerja dan menerapkan operation excellence sehingga bisnis perusahaan lebih efisien dan kompetitif.
Pada September dan November 2019, perusahaan berhasil melampaui rekor produksi HRC dan CRC. "Dengan segala capaian ini, kami optimistis di tahun 2020, Krakatau Steel akan mempunyai catatan yang lebih gemilang," ujar Simly.
Adapun dalam skema besar restrukturisasi perusahaan, ada juga strategi pelepasan aset, dan pelepasan anak usaha lewat penerbitan saham perdana (IPO). Namun, Silmy mengisyaratkan belum ada keputusan soal IPO anak usaha. "Lagi dikaji," kata dia.
Ke depan, Krakatau Steel mengharapkan dukungan regulasi terkait impor baja untuk mendukung pertumbuhan industri baja yang sehat. Perusahaan menyatakan impor baja telah menghantam industri baja nasional dari hulu hingga ke hilir. "Kami memerlukan kebijakan dan pengawasan yang ketat dalam hal impor baja. Telah terjadi penurunan utilisasi industri baja hingga 43% di tahun 2019," kata Silmy.
Krakatau Steel, dengan mengutip data Badan Pusat Statistik, menyatakan impor besi dan baja telah mencapai 5 juta ton sepanjang Januari-September 2019, dan diestimasi mencapai 6,7 juta ton hingga akhir 2019. Estimasi ini naik 7,5% dari realisasi tahun sebelumnya.
Pada periode Januari-September 2019, besi dan baja masih masuk tiga besar sebagai komoditi impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai US$ 7,63 miliar.