Bursa Efek Indonesia (BEI) tetap masih melakukan penghentian sementara perdagangan efek (suspensi) PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Meskipun perusahaan telah menyampaikan laporan keuangan 2017 yang disajikan ulang, laporan keuangan 2018 yang sudah diaudit, dan laporan keuangan semester I.

“Bursa memutuskan untuk melakukan perpanjangan penghentian sementara perdagangan efek PT Tiga Pilar Sejahtera Food di seluruh pasar sejak sesi I perdagangan pada hari Senin, 17 Februari 2020 hingga pengumuman lebih lanjut,” demikian tertulis dalam surat pengumuman di situs BEI, Senin (17/2).

Dengan perpanjangan ini maka perdagangan saham perusahaan berkode bursa AISA tersebut telah lebih dari 2,5 tahun disuspensi. Suspensi berlangsung tepatnya sejak 5 Juli 2018, seiring masalah keuangan yang dialami perusahaan hingga harus menunda pembayaran bunga surat utang kepada investornya.

(Baca: TPS Food Sajikan Ulang Lapkeu 2017, Rugi Membengkak Jadi Rp 5 Triliun)

Masalah di perusahaan tersebut berlanjut seiring kisruh direksi dengan pemegang saham yang menuding adanya manipulasi laporan keuangan 2017. Kisruh ini berujung pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta perusahaan menyajikan ulang laporan keuangan 2017.

Penyampaian laporan keuangan selanjutnya pun terlambat. Perusahaan baru menyampaikan laporan keuangan 2017 yang disajikan ulang, laporan keuangan 2018 yang sudah diaudit, dan laporan keuangan semester I pada 11 Februari 2020 lalu.

BEI menjelaskan, pihaknya memutuskan untuk melanjutkan suspensi lantaran akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan AISA -- Ernst & Young (EY) -- memberikan opini disclaimer alias tidak memberikan pendapat atas laporan keuangan 2017 dan 2018.

Sesuai Surat Edaran Nomor SE-008/BEJ/08-2004 tentang suspensi perusahaan tercatat bahwa bursa bisa melakukan suspensi bila laporan keuangan auditan perusahaan memperoleh opini disclaimer sebanyak dua kali berturut-turut atau sebanyak satu kali opini tidak wajar alias adverse.

Laporan Keuangan 2017 Disajikan Ulang, Rugi Bengkak Jadi Rp 5 Triliun

Perusahaan akhirnya menyampaikan laporan keuangan 2017 yang merupakan hasil restatement atau penyajian ulang atas laporan sebelumnya yang diduga dimanipulasi manajemen lama yang dipimpin Joko Mogoginta.

Pada laporan keuangan versi terbaru, perusahaan pemegang merek makanan ringan "Taro" ini membukukan rugi bersih Rp 5,23 triliun sepanjang 2017. Jumlah tersebut lebih besar Rp 4,68 triliun dari laporan keuangan versi sebelumnya yang hanya rugi Rp 551,9 miliar.

Beberapa dugaan penggelembungan yang diungkapkan oleh laporan kantor akuntan publik Ernst & Young (EY), pun terbukti, yakni pada pos piutang usaha, persediaan, dan aset tetap. Selain itu, ada perbedaan yang mencolok pada pos penjualan, laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA).

Pada pos piutang usaha, laporan keuangan 2017 versi lama perusahaan membukukan Rp 2,11 triliun sedangkan pada laporan hasil restatement hanya sebesar Rp 485,71 miliar. Artinya, ada penggelembungan hingga Rp 1,63 triliun.

Kemudian, pada pos persediaan terdapat selisih Rp 1,31 triliun, yakni Rp 1,4 triliun pada laporan lama dan hanya Rp 91,91 miliar pada restatement. Sedangkan pada pos aset tetap terdapat selisih Rp 2,35 triliun, yakni Rp 3,18 triliun pada laporan keuangan lama dan Rp 824,62 miliar pada laporan terbaru.

Penggelembungan yang cukup besar juga terlihat di beberapa pos lainnya. Jumlah aset tercatat Rp 8,72 triliun pada laporan lama, sedangkan pada laporan baru Rp 1,98 triliun. Ini artinya, terdapat selisih Rp 6,74 triliun.

Begitu juga penjualan neto tercatat selisih Rp 2,97 triliun dari Rp 4,92 triliun pada laporan lama menjadi hanya Rp 1,95 triliun pada laporan baru.

Reporter: Happy Fajrian