8.000 Kali Lebih Cepat Dibanding 5G, 6G Bisa Ganggu Riset Astronomis

ANTARA FOTO/REUTERS/JASON LEE
Ilustrasi, seorang insinyur berdiri di bawah stasiun pangkalan antena 5G dalam sistem uji lapangan SG178 Huawei yang hampir membentuk bola di Pusat Manufaktur Songshan Lake di Dongguan, provinsi Guangdong, Tiongkok, Kamis (30/5/2019).
4/2/2020, 14.04 WIB

Jepang dan Tiongkok mulai mengembangkan jaringan internet generasi keenam (6G) yang diklaim 8 ribu kali lebih cepat dibanding 5G. Namun, 6G dianggap bisa mengganggu penelitian astronomis.

Dikutip dari Phone Arena, Kementerian Sains dan Teknologi Tiongkok menyiapkan penerapan 6G dalam beberapa tahun ke depan. Kementerian mengatakan bahwa kecepatan unduhan 6G bisa mencapai 1 Terabytes per detik (TBps) atau 1.000 Gigabytes per detik (Gbps).

Dosen Pusat Internet of Things (IoT) dan Telekomunikasi Universitas Sydney Mahyar Shirvanimoghaddam mengatakan, kecepatan itu 8.000 kali lebih cepat dibanding 5G. Dengan kecepatan 1 TBps, Anda bisa mengunduh 142 jam film dalam sedetik. Jika menggunakan 5G, butuh beberapa detik.

Ketua Wireless World Research Forum  Nigel Jefferies mengatakan, pengembangan 6G menggabungkan beberapa teknologi 5G. "Seperti sinyal terahertz, satelit, dan komunikasi cahaya tampak (visible light communication)," katanya dikutip dari The Phonm Penh Post, bulan lalu (7/1).

(Baca: Jepang Siap Gunakan 6G, Menteri Kominfo: RI Masih Fokus Matangkan 5G)

Gelombang sinyal 6G menempati pita spektrum 300GHz hingga 3 terahertz. Frekuensi itu lebih tinggi ketimbang 5G yang berada di antara 30-300GHz. Kecepatan itu berbanding lurus dengan spektrum frekuensi.

Generasi2G3G3G HSPA+4G4G LTE5G6G
Kecepatan maksimum0,3 Mbps7,2 Mbps42 Mbps150 Mbps300 Mbps- 1 Gbps1-10 Gbps1 TBps
Kecepata rata-rata0,1 Mbps1,5 Mbps5 Mbps10 Mbps15-50 Mbps50 Mbps and upn/a

Spektrum frekuensi super tinggi memiliki jangkauan yang lebih pendek, tetapi kapasitasnya besar. Jangkauan yang pendek itu menunjukkan kecepatan pengiriman dan besarnya kapasitas data yang dikirimkan.

Profesor riset di National Astronomical Observatories dari Chinese Academy of Sciences (CAS) dan Kepala Ilmuwan dari Tiongkok-Argentina Radio Telescope Li Jinzeng mengatakan, banyak teleskop yang bergantung pada frekuensi yang ditempati 6G. Padahal, teleskop itu digunakan untuk memeriksa kondisi alam semesta.

Karena itu, Jinzeng khawatir 6G akan mengganggu pengamatan astronomis. Karena frekuensinya super tinggi, ada kekhawatiran efek fisiologis dari radiasi elektromagnetik. 

(Baca: Radiasinya Dianggap Berbahaya, Jepang hingga Eropa Tetap Adopsi 5G)

Jangkauan gelombang frekuensi 6G pendek, sehingga operator perlu memasang antena mini cell secara berdekatan di banyak tempat supaya sinyalnya tidak terhalang. Cara kerja seperti ini menimbulkan kekhawatiran bahwa radiasinya lebih berbahaya dibanding generasi sebelumnya.

Bahaya seperti itu juga dikhawatirkan terjadi karena penerapan 5G. Apalagi, frekuensi 6G melebihi 5G. “Para kritikus mengatakan tidak ada penelitian yang mendalam terkait dampak 5G bagi kesehatan. World Health Organization mencantumkan sinyal seluler sebagai karsinogen (penyebab kanker) potensial, begitu juga dengan acar sayuran dan kopi,” demikian dikutip dari CNET, pertengahan tahun lalu (21/6/2019).

Lembaga non-profit asal Inggris, principia-scientific menjelaskan bahwa setiap operator perlu membangun base transceiver station (BTS) dengan jarak 100 meter di satu wilayah. Karena itu, operator perlu mendirikan lebih banyak BTS dan berdekatan.

Untuk menyediakan layanan 5G atau 6G, operator juga perlu membangun pangkalan yang berisi antena mini cell. Antena ini akan memancarkan sinyal supaya bisa terhubung dengan BTS dan perangkat pengguna. Setiap stasiun pangkalan berisi ratusan hingga ribuan antena mini cell.

Karena itu, teknologi seperti 5G atau 6G dianggap berbahaya karena radiasinya. (Baca: Kembangkan 5G, Kominfo Cari Cara Atasi Hambatan di Frekuensi 3,5 Ghz)

Wakil Direktur Eksekutif Pusat Big Data Beijing Institute of Genomics CAS Zhang Zhang juga mengatakan, ada dua  masalah utama penerapan 6G yakni soal keamanan data dan biaya. "Dengan 6G, kami mungkin mentransmisikan begitu banyak data dengan sangat cepat sehingga kami gagal melihat adanya kebocoran kecil atau risiko keamanan (data)," ujarnya.

Di satu sisi, layanan 6G dianggap terlalu mahal. “Maka, penyandang dana dan pembuat kebijakan harus menyeimbangkan biaya dan manfaat, serta menyesuaikan teknologi dengan kebutuhan pengguna,” ujar Zhang.

Sebelumnya, Kepala Dosimetri Radiasi Badan Kesehatan Masyarakat Inggris (Public Health England/PHE) Simon Mann mengatakan bahwa 5G bisa merusak otak dan kesuburan. "Ada kemungkinan peningkatan kecil dalam keseluruhan paparan gelombang radio ketika 5G ditambahkan ke jaringan telekomunikasi," kata dia dikutip dari Daily Record.

Pada 2017 lalu, pakar frekuensi radio internasional dari Universitas Helsinki Dariusz Leszczynski mengatakan, jaringan 5G bisa berdampak buruk bagi kulit ataupun mata. “Tampaknya, kita mengalami deja vu, karena pada awal 1980-an kita berpikir bahwa teknologi pemancar berdaya rendah akan aman. Tiga puluh tahun kemudian nampaknya itu mungkin bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker),” kata dia.

(Baca: Radiasinya Dianggap Berbahaya, Jepang hingga Eropa Tetap Adopsi 5G)

Reporter: Cindy Mutia Annur