Startup di bidang pendidikan (edtech) disebut-sebut berpeluang besar menjadi unicorn keenam Indonesia. Padahal, tiga perusahaan rintisan menyebutkan bahwa pasar pendidikan di Tanah Air cukup menantang.
Tantangan utamanya yakni minimnya akses, sarana dan prasarana pendidikan di daerah. Di satu sisi, Quipper, Bahaso, dan Zenius mengakui bahwa pasar sektor ini di Indonesia sangat potensial.
Businnes Development Manager Quipper Indonesia Ruth Ayu Hapsari mengatakan, perusahaan mulai menyasar pengguna di kota-kota kecil luar Jawa tahun ini. Saat ini, layanan di Kalimantan dan Papua dinilai belum maksimal.
"Kurang akses dan kesadaran. Belum banyak yang mengetahui konten-konten yang diberikan startup pendidikan," kata Ayu di Jakarta, Kamis (5/3).
(Baca: Mantan Petinggi Gojek Sebut Tantangan Pimpin Startup Pendidikan)
Meski sudah ada beberapa pemain di sektor ini, menurutnya startup pendidikan butuh pengenalan. “Jangan sampai melihat ponsel dianggapnya bermain saja, padahal belajar," kata dia.
Saat ini, Quipper mempunyai layanan video pembelajaran yang diperuntukan bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Perusahaan juga sudah menggaet 600 ribu pengguna di Indonesia.
Hal senada disampaikan oleh Vice President Business Development Bahaso Calvin Capnary. Akses jalan dan infrastruktur pendidikan di beberapa wilayah belum memadai. Salah satunya terkait jaringan internet. Hal itu membuat layanan Bahaso tidak bisa diakses di beberapa daerah.
Bahaso menyediakan aplikasi video chat untuk mempelajari bahasa. Ada dua layanan bahasa yang disediakan, yaitu Inggris dan Mandarin. Perusahaan rintisan ini juga sudah bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI).
(Baca: Startup di Tiga Sektor Berpeluang Jadi Unicorn Tahun Ini)
Public Relations Manager Zenius Jaelussyahadat Jalalain mengatakan, permasalahan lain di dunia pendidikan Indonesia yaitu minimnya jumlah guru, terutama di wilayah terpencil. Namun, hal itu juga bisa menjadi peluang bagi startup pendidikan.
Perusahaan rintisan dapat menyediakan layanan berbasis teknologi untuk mengimbangi minimnya jumlah guru. "Harusnya edtech bisa menjangkau tidak hanya di kota-kota besar, tapi semua daerah,” katanya.
Salah satu upaya Zenius menjangkau wilayah pelosok dengan memberi layanan Zenius Box. Layanan itu berupa kotak yang disimpan di kelas, yang memungkinkan siswa dan guru mengakses video pembelajaran dari Zenius tanpa akses internet.
Startup itu telah menyediakan lebih dari 80 ribu video terkait materi pelajaran. Selain itu, tersedia paket latihan soal dan pembahasannya.
(Baca: Jokowi Ingin Tiga Unicorn Baru, Menteri Kominfo Siapkan Empat Strategi)
CEO Zenius Rohan Monga pun mengaku sulit menggarap pasar pendidikan Indonesia. “Kami harus memastikan mayoritas konsumen menggunakan platform secara konsisten,” ujar mantan petinggi Gojek itu, beberapa waktu lalu (5/2).
Pengguna diminta menyaksikan video terkait mata pelajaran. “Bagaimana mereka tidak melewatkan video itu dan mengulangnya supaya memahami,” kata dia.
Begitu juga dengan Ruangguru. CEO Ruangguru Belva Devara mengatakan, perusahaannya berfokus pada pemasaran supaya layanannya lebih dikenal masyarakat. Hingga pertengahan tahun lalu, layanannya tersedia di 32 provinsi di Tanah Air.
Meski demikian, startup pendidikan disebut-sebut calon kuat unicorn Indonesia berikutnya. "Pasar masih luas dan itu membutuhkan inovasi yang dapat di-deliver oleh ketiganya,” kata Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait.
Selain karena pasar yang masih luas, edtech dilirik penanam modal karena pemerintah menggelontorkan dana yang cukup besar untuk pendidikan.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) periode 2014-2019 Rudiantara juga memperkirakan, startup pendidikan menjadi unicorn berikutnya. Salah satu yang berpeluang memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar yaitu Ruangguru.
(Baca: Galang Pendanaan, Valuasi Ruangguru Diprediksi Tembus Rp 7 Triliun)