Google Harap Pemerintah Buat Aturan Cerdas soal Pajak Digital

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Ilustrasi, warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Kamis (18/7/2019). Google dan perusahaan konsultasi manajemen asal AS, Bain & Company menilai, kebijakan yang cerdas sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi digital.
Penulis: Desy Setyowati
7/10/2019, 17.53 WIB

Pemerintah mulai menyusun beberapa regulasi untuk memajaki perusahaan di bidang digital ekonomi, mulai dari teknologi finansial (fintech) hingga e-commerce. Namun, Google dan perusahaan konsultan manajemen berbasis di Amerika Serikat (AS), Bain & Company menilai, butuh regulasi yang cerdas supaya ekonomi digital bisa berkembang di Indonesia.

Partner and Leader of Asia-Pacific Digital Practice Bain & Company Florian Hoppe mengatakan, regulasi yang cerdas sangat penting untuk pertumbuhan setiap sektor, industri dan ekonomi. “Smart regulation sangat krusial untuk jangka Panjang,” kata dia saat konferensi pers terkait laporan bertajuk e-Conomy SEA 2019 di kantor Google, Jakarta, Senin (7/10).

Di satu sisi, saat ini ada aturan seperti pajak konsumen dan pertukaran data. Dalam jangka Panjang, menurutnya perlu berfokus pada kepercayaan konsumen untuk memastikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan kerangka regulasi yang konsisten. “Ini untuk persaingan yang level of playing field,” kata dia.

Pada kesempatan itu, Managing Director Google Indonesia Randy Mandrawan Jusuf sepakat bahwa kebijakan yang cerdas sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi digital. Terlebih lagi, pemerintah sedang menggalakkan revolusi industri 4.0.

“Saya kira, regulasi adalah kunci. Bersama antara pemain, investor, dan pemerintah maju ramai-ramai,” kata Randy.

(Baca: Riset Google: Nilai Ekonomi Digital Indonesia Saat Ini Rp 568 Triliun)

Laporan Google, Temasek, dan Bain bertajuk e-Conomy SEA 2019 pun memperkirakan, nilai ekonomi berbasis internet di Indonesia mencapai US$ 40 miliar (sekitar Rp 567,9 triliun) tahun ini. Sedangkan pada 2025, nilainya diproyeksi tembus US$ 133 miliar.

Secara keseluruhan, ketiganya memperkirakan nilai ekonomi digital di Asia Tenggara mencapai US$ 100 miliar atau 1.418,7 triliun tahun ini. Pada 2025, nilainya diproyeksi tembus US$ 300 miliar.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun sempat memproyeksi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sektor digital, seperti Google dan Facebook mencapai Rp 27 triliun pada 2025. Rencananya, pajak atas perdagangan elektronik akan menjadi salah satu poin yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perpajakan. 

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan pengaturan pajak di sektor digital penting lantaran total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri terus meningkat. Pada 2018, angkanya bahkan mencapai Rp 93 triliun. 

"Pada 2025, nilai konsumsi ini bisa mencapai Rp 277 triliun, sehingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya Rp 27 triliun," katanya dalam media briefing di Jakarta, beberapa waktu lalu (5/9).

(Baca: Riset Google: Investasi ke Startup RI Rp 23,8 T, Terbesar di Regional)

Di satu sisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun tengah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Aturan ini dinilai membuka peluang meningkatkan pajak perusahaan digital seperti Facebook dan Google.

Alasannya, dalam draf revisi aturan tersebut nantinya bakal memastikan bagaimana mekanisme, alat ukur, dan tingkat kepatuhan perusahaan digital dalam membayar pajak ke pemerintah..

Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, revisi aturan itu memungkinkan para perusahaan yang tidak patuh membayar pajak bisa diblokir oleh pemerintah. Sebab, aturan ini memiliki kepastian yang harus dipatuhi oleh setiap perusahaan digital yang ada di Tanah Air.

"Jadi (draf aturan) ini akan mendukung apa yang diharapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memastikan para pelakunya bisa membayar pajak. Kalau tidak (bayar), mereka bisa saja dilarang untuk beroperasi lagi di Indonesia," kata Semuel kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (13/9).

(Baca: Revisi PP, Facebook dan Google Terancam Diblokir jika Tak Bayar Pajak)

Reporter: Desy Setyowati