Kemendag Ancam Cabut Izin Usaha Jika Masih Jual Ponsel Ilegal

ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Ilustrasi, penjual melayani ponsel di salah satu pusat perbelanjaan elektronik. Kementerian Perdagangan mengancam mencabut izin usaha apabila distributor ponsel masih tetap menjual ponsel ilegal setelah aturan IMEI diterapkan.
15/4/2020, 18.57 WIB

Kementerian Perdagangan (Kemendag) memperingatkan para penjual ponsel ilegal memberikan ganti rugi kepada konsumen, setelah aturan International Mobile Equipment Identity (IMEI) berlaku 18 April mendatang.

Kemendag juga memperingatkan bagi para distributor ponsel untuk taat aturan, yakni tidak lagi menjual ponsel ilegal. Jika masih dilakukan, Kemendag mengancam bakal mencabut izin para distributor atau pengecer di toko maupun e-commerce.

Direktur Pengawasan Barang dan Jasa Kemendag Ojak Manurung mengatakan, terkait sanksi atas pelanggaran IMEI bagi para pedagang sudah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 Ayat (1) dan (2).

UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 Ayat (1) secara jelas menyebutkan, bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Sementara, Ayat (2) menyebutkan, ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(Baca: Corona Mewabah, Kominfo Tetap Blokir Ponsel Ilegal Mulai 18 April)

"Jadi, sudah jelas dari undang-undang tersebut bahwa konsumen dapat menuntut ganti rugi (ke pedagang ponsel ilegal). Pemerintah pun tak perlu membuat aturan turunan," ujar Ojak dalam video conference, Rabu (15/4).

Sehingga, para distributor, baik offline maupun online, wajib memastikan bahwa ponsel yang diterima dari produsen sudah valid atau teregistrasi IMEI-nya. Untuk hal ini, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) telah diminta untuk memastikan para pedagang di platformnya menjual ponsel yang sudah teregistrasi.

Apabila ada pelaku usaha yang menjual ponsel tidak teregistrasi IMEI-nya, maka akan kementerian akan melarang mereka untuk berdagang alias dicabut izin usahanya.

Ojak menjelaskan, konsumen dapat melakukan pengaduan kepada Direktorat Perlindungan Konsumen di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), apabila merasa dirugikan oleh pedagang ponsel ilegal.

"Nantinya, pemerintah akan membantu mediasi antar konsumen dan pedangang. Kalau tidak bisa diselesaikan, maka bisa menggunakna jalur pengadilan," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Data dan Informasi Kemenperin Janu Suryanto mengatakan, aturan blokir ponsel akan dilakukan sesuai rencana, yakni mulai 18 April 2020 meski ada pandemi virus corona atau Covid-19. Aturan IMEI tetap diterapkan, karena ponsel ilegal berpotensi merugikan negara Rp 2 triliun sampai Rp 5 triliun setahun.

(Baca: Pemerintah Pastikan Aturan IMEI Lindungi Data Pribadi Konsumen)

"Tidak ada penundaan waktu.  Jika kami tunda, maka akan berakibat sangat buruk terhadap ekosistem industri dan konsumen,” ujar Janu dalam siaran pers, Kamis (19/3).

Selain ponsel, aturan IMEI akan berlaku untuk semua perangkat elektronik yang tersambung dengan jaringan seluler. Sedangkan gawai yang menggunakan WiFi tidak akan terblokir.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah memutuskan untuk menerapkan skema whitelist. Artinya, ketika konsumen memasukkan simcard ke ponsel ilegal, maka ponsel tersebut tidak akan mendapat sinyal.

Sementara, untuk ponsel milik Warga Negara Asing (WNA) yang berkunjung ke Indonesia masih bisa digunakan, sepanjang menggunakan simcard dari negara asal. Jika menggunakan simcard Indonesia akan terblokir.

Pemerintah tengah menyiapkan layanan yang memungkinkan WNA mendaftarkan ponselnya, supaya tidak diblokir. Lalu, bagi WNI yang tinggal di luar negeri, ponselnya tetap dapat digunakan sepanjang pernah digunakan di Indonesia sebelum 18 April.

(Baca: Butuh Rp 200 M, Operator Sepakat Investasi Alat Blokir Ponsel Ilegal)

Reporter: Cindy Mutia Annur