Dalam dua tahun terakhir ini, ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa kembali terkendala isu lingkungan. Verified Sourcing Area (VSA) atau Daerah Penghasil Terverifikasi diharapkan menjadi salah satu solusi bisnis berkelanjutan untuk memastikan komoditas minyak kelapa sawit Indonesia bisa diterima di pasar internasional termasuk Uni Eropa.
VSA adalah sebuah model pengelolaan sumber daya, yang menyatukan wilayah produksi, aktor rantai pasok, dan pembeli akhir yang berkomitmen untuk menciptakan sumber daya lestari.
Dalam model VSA, setiap pembeli, pedagang, pembeli akhir, atau pihak ketiga yang berminat dapat dengan mudah menilai status dan kemajuan kawasan penghasil terhadap standar kinerja VSA. Konsep VSA ini juga mensyaratkan pengelolaan dan perlindungan lingkungan.
Manager Program Senior Landscapes dan Komoditas Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH), Eka Wijayanti, menjelaskan konsep VSA terbilang baru. Secara sederhana, VSA merupakan konsep Production, Protection, and Inclusion (PPI) yang digabungkan dengan konteks rantai pasok.
Brasil adalah salah satu negara yang tengah menguji konsep Daerah Penghasil Terpercaya. IDH, the sustainable trade initiative, mitra jaringan YIDH, bersama Pemerintah Mato Grosso dan Carrefour Brasil Group, menerapkan uji coba VSA melalui Program Produksi Calves (anak sapi) Berkelanjutan di wilayah lembah Juruena dan Araguaia, Mato Grosso Utara.
Program ini membantu peternak meningkatkan produksi anak sapi yang berkelanjutan dan mendapatkan akses ke pasar. Pemerintah juga terbantu, karena pembangunan ekonomi di kawasan itu menjadi lebih cepat, tanpa perlu mengubah hutan menjadi lahan pertanian maupun peternakan. Sementara dari sisi lingkungan, dampak dari kegiatan ini berpotensi melindungi dan memulihkan lebih dari 373.129 hektare hutan tropis di Brasil.
Yayasan Carrefour, lembaga internasional yang bertanggung jawab atas investasi sosial Grup Carrefour, berjanji menginvestasikan 1,9 juta euro dalam program ini. Sementara IDH akan berinvestasi sebesar 1,6 juta euro. Program VSA itu dilakukan dengan mitra pelaksana Acrimat, NatCap, dan Sao Marcelo Farms.
Aceh Tamiang dan Musi Banyuasin
Di Indonesia, Kabupaten Aceh Tamiang juga sedang dalam proses menerapkan konsep VSA. Aceh dipilih karena memiliki kebun sawit dan karet yang cukup luas. Aceh juga memiliki kawasan konservasi, yakni Taman Nasional Gunung Leuser. "Kami garap di kantong produksi yang tinggi agar supply chain-nya jelas," kata Eka.
Bupati Aceh Tamiang, Mursil, dalam penandatangan kesepakatan produksi, proteksi, inklusi (PPI) Aceh Tamiang pada 12 Desember lalu, menegaskan Aceh Tamiang akan menjadi salah satu daerah penghasil komoditas lestari di Indonesia.
Dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, daerah ini akan meningkatkan sepertiga produktivitas kelapa sawit berkelanjutannya. Upaya ini akan diikuti pula dengan komitmen melindungi dan menghijaukan kembali kawasan hutan, serta memastikan 30 persen petani swadaya di kabupaten ini memiliki sertifikat lahan resmi.
Mursil berharap dengan adanya kerja sama dengan Yayasan IDH lewat program VSA dapat menghapus gambaran buruk atas produk dari Aceh Tamiang. Kesejahteraaan masyarakat juga dapat meningkat seiring dengan penerapan VSA. Keuntungan lainnya dengan penerapan VSA ini ada jaminan pasar, sudah ada pembeli yang siap menampung produk dari Aceh Tamiang. “Kami bantu siapkan regulasi dan juga sumber daya aparat pemerintah,” kata Mursil.
Komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang terlihat dari diterbitkannya SK Bupati Aceh Tamiang Nomor 680/2019 tentang pembentukan Satuan Tugas Pusat Unggulan Perkebunan Lestari (PUPL) Aceh Tamiang.
Penandatanganan Kesepakatan PPI Aceh Tamiang juga turut disaksikan perwakilan Unilever, PepsiCo dan Musim Mas Group. Ketiga perusahaan ini tengah menjajaki peluang investasi Rp 10 miliar dalam pengembangan proyek percontohan VSA Aceh Tamiang setahun ke depan, guna melindungi hutan dan Kawasan Ekosistem Leuser seluas 30.000 hektare.
Selain di Aceh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, juga tengah menyiapkan program VSA untuk komoditas sawit dan karet. Sebagai daerah penghasil sawit, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin merasa sangat dirugikan dengan adanya kampanye negatif sawit dari Uni Eropa.
Dalam diskusi kelompok “Peta Jalan Kegiatan Pengembangan Kelapa Sawit dan Karet Alam Berkelanjutan Melalui Verified Sourching Area (VSA)” di Kabupaten Musi Banyuasin, pada awal tahun ini, Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kampanye negatif tersebut.
“Ekonomi akan goyang kalau CPO kita diembargo oleh negara yang secara tradisional menjadi pengimpor sawit. Berapa banyak petani atau pekebun sawit di Indonesia, khususnya di Musi Banyuasin, yang akan kena dampak tersebut. Dari sisi neraca perdagangan juga akan merosot tajam,” ujar Dodi.
Dodi mengatakan selain sawit, Kabupaten Musi Banyuasin juga memasukkan produk karet dalam program VSA, karena sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari kedua komoditas ini. Jumlah kebun karet di Musi Banyuasin mencapai 209.896 hektare dengan jumlah pemilik kebun sebanyak 84.149 orang.
“Secara garis besar, kabupaten kami memiliki komoditas sawit dan karet, termasuk yang besar di Sumatera Selatan, dan sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup pada sawit dan karet. Kami sudah menyiapkan kesiapan infrastruktur untuk menyambut investasi yang masuk. Dalam arti kesiapan dari segi sumber daya manusia atau pun faktor penunjang lainnya,” ungkapnya.
Eka menambahkan, ada banyak tahapan untuk menjalankan VSA. Pada wilayah produksi, perlu ada kesepakatan lebih dulu antara swasta, pemerintah, dan petani. Kesepakatan dibuat pada tingkat yurisdiksi, misalnya kota atau kabupaten yang disebut Production, Protection, and Inclusion Compact (PPI Compact) atau Kesepakatan PPI.
Kemudian, para pemangku kepentingan publik dan swasta akan menyepakati target yang ditetapkan, peta jalan menuju target, serta sistem pemantauan dan pelaporan sebagai alat ukur pencapaian target.
Bila telah ada kesepakatan, maka dibentuk Pusat Unggulan Komoditas Berkelanjutan (PUKB) atau Center of Excellence (CoE). PUKB seperti PUPL Aceh Tamiang terdiri atas semua pemangku kepentingan yang duduk bersama dengan kelompok tani maupun pembeli. Fungsinya sebagai wadah untuk memastikan semua pihak yang terlibat dalam proses VSA memenuhi komitmennya terhadap target yang sudah disepakati.
Menurut Eka, adanya PUKB untuk memastikan bahwa masyarakat dan petani tak lagi masuk ke hutan dan tak lagi menggunakan pestisida. Mereka juga melakukan penanaman secara baik dan lestari, sehingga menghasilkan produk berkualitas baik. Dalam pemasarannya, petani akan dibantu mengakses pasar yang lebih luas di tingkat nasional maupun global, sehingga kesejahteraan petani meningkat. (*)