Mewujudkan Pertumbuhan Hijau dan Inklusif di Bumi Cendrawasih

Katadata
Petani kakao Papua
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
25/2/2020, 18.57 WIB

Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat telah menempatkan diri sebagai provinsi yang mengusung prinsip pembangunan berkelanjutan dalam memacu pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Kedua provinsi telah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk merancang serta menyusun rencana pertumbuhan hijau serta model bisnis dan investasi hijau.

Selain itu juga memastikan keseimbangan antara perlindungan lingkungan, kesejahteraan masyrakat dan aktivitas ekonomi. Belajar dari model pembangunan di provinsi lain di Indonesia yang mengalami penurunan mutu lingkungan hidup, baik Papua maupun Papua Barat, berupaya mewujudkan pertumbuhan hijau dan inklusif di wilayahnya.

Provinsi Berkelanjutan Papua Barat

Papua Barat adalah provinsi yang tergolong muda namun telah menorehkan sejarah sejak mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Berkelanjutan pada 19 Oktober 2015. Semua itu tiada arti tanpa adanya kelanjutan, hingga empat tahun setelah deklarasi, tepatnya pada Maret 2019, Rapat Paripurna DPRD Papua Barat menetapkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan.

Dengan luas 120.777 km persegi, Provinsi Papua Barat memiliki keanekaragaman hayati yang begitu kaya. Papua Barat menjadi rumah bagi 1.800 spesies ikan dan habitat untuk 75 persen karang keras dunia. Selain itu, provinsi ini memiliki hutan bakau terluas di dunia dan luas lahan gambut yang signifikan. Hutan bakau dan lahan gambut merupakan ekosistem dengan cadangan karbon empat kali lebih tinggi dibandingkan cadangan karbon hutan tropis. Mempertahankan cadangan karbon ini penting untuk mengendalikan laju perubahan iklim.

Bermodalkan peraturan daerah khusus (Perdasus) ini, Pemerintah Provinsi Papua Barat berkomitmen melindungi ekosistem laut dan darat yang diketahui sebagai ekosistem paling utuh yang masih tersisa di Indonesia. Tak kalah penting, aturan ini juga mempromosikan pengembangan mata pencaharian berkelanjutan, dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Perdasus ini juga menempatkan pembangunan berkelanjutan di garis depan dari setiap kegiatan ekonomi dan pembangunan di Provinsi Papua Barat.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, Charlie Heatubun, menjelaskan Pemerintah Provinsi Papua Barat memilih menjadi Provinsi Pembangunan Berkelanjutan dengan tetap memakai prinsip konservasi. Hutan tetap lestari, bermanfaat bagi pembangunan dan masyarakatnya.

Menurut Charlie, momentum pembangunan berkelanjutan di Papua Barat diawali dari Deklarasi Manokwari yang dicetuskan dalam International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) 2018 atau Konferensi Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif yang digelar di Manokwari, Papua Barat, pada Oktober 2018.

Deklarasi Manokwari menjadi landasan bagi inistiatif pembangunan berkelanjutan di Papua dan Papua Barat. Deklarasi ini memuat 14 poin kesepakatan di mana salah satunya adalah mendorong kemitraan global, nasional dan lokal serta membentuk platform multipihak untuk mendorong terbangunnya model-model investasi/pembiayaan yang mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang bertujuan bagi pembangunan berkelanjutan.

Perdasus juga menjadi landasan inisiatif pengkajian ulang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Papua Barat yang sedang dilakukan tim pemerintah provinsi. Tujuannya, mengatur ulang proporsi kawasan lindung dan budidaya hutan di provinsi tersebut. "Target yang diusung, 70 persen wilayah Papua Barat akan menjadi kawasan konservasi," katanya.

Pembangunan di Papua Barat adalah pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan perekonomian berbasis sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan sektor agro wisata. Tugas pemerintah daerah dan juga pemangku kepentingan lainnya untuk mengupayakan peningkatan nilai tambah komoditas di Papua Barat seperti kopi, kakao, dan buah merah. "Kami harus bekerja sama dengan pihak lain seperti Yayasan IDH dan lainnya," ujar Charlie. Salah satu komoditas pilihan yang dijadikan percontohan adalah cokelat dari Distrik Ransiki di Manokwari Selatan.

Dukungan Pemerintah Daerah

Bupati Manokwari Selatan Markus Waran menjelaskan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan itu pemerintah kabupaten telah menyiapkan pengembangan kakao Ransiki menjadi komoditi unggulan. Kakao Ransiki pada 1980-an hingga 2000 sudah dikenal secara nasional bahkan manca negara. Kakao saat itu memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan masyarakat Manokwari Selatan.

Namun,serangan hama busuk buah kakao dan  manajemen yang kurang baik mengakibatkan perusahaan PT Cokran Ransiki di Manokwari Selatan mengalami kebangkrutan yang berimbas pada pendapatan petani kakao. Kini perkebunan kakao berusaha diremajakan kembali oleh mantan karyawannya yang membentuk Koperasi Eiber Suth Cokran. "Kami bantu beri suntikan dana Rp10 miliar yang diberikan secara bertahap," kata Markus.

Ia menjelaskan perusahaan Cokran yang telah tutup mengelola lahan cokelat seluas 4.659 ha. Dari jumlah tersebut baru 200 ha yang diremajakan, sisanya secara bertahap dilakukan pembenahan. Dalam waktu dekat ada 260 ha lahan lagi yang akan dibenahi. Mantan karyawan Cokran yang mengelola 200 ha lahan ini bisa menghasilkan 60 ton kakao per bulan. Pembeli pun berdatangan, setelah mengetahui kualitas kakao Ransiki, salah satunya adalah Pipiltin Cocoa dari Jakarta.

Mereka mengambil contoh biji kakao terfermentasi dan mencoba mengolahnya menjadi produk cokelat kualitas premium. Prosesnya tak sebentar untuk menentukan layak tidaknya pengembangan kakao Ransiki. Dibutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengukur konsistensi, kualitas, dan tingkat produksi cokelat yang dihasilkan.

Irvan Helmi, salah satu pendiri Pipiltin dan Anomali Coffee, menuturkan, dia mengenal kakao Ransiki dari Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (Yayasan IDH). Setelah dicoba, ternyata rasanya memang enak. “Pertama bean count-nya bagus, bijinya gede-gede. Terus aromanya tuh unik, flavour-nya juga spesifik,” kata Irvan. Tak cuma rasanya yang unik, tapi ada ‘kisah’ cokelat Ransiki yang bisa jadi bahan jualan Pipiltin. “Jadi kami bercerita tentang single origin-nya, tentang petani-petaninya, tentang konservasi hutannya, tentang burung Vogelkop.”

Ada barang bagus, ada kisah menarik, maka jadilah kerja sama antara Pipiltin dengan komunitas pekebun kakao Ransiki. Bagi Irvan, hubungan Pipiltin dengan petani kakao Ransiki merupakan hubungan bisnis yang saling menguntungkan, bukan suatu kerja sosial. Petani kakao mendapatkan harga beli yang layak  untuk hasil kebunnya, Pipiltin memperoleh  untung. Kini, Ransiki semakin dikenal dunia internasional setelah Biji Kakao Trading, pembeli lain, melakukan ekspor perdana enam ton biji kakao ke Inggris pada awal 2020.

Visi Papua 2100 dan Kopi Wamena

Sekitar sepertiga hutan primer yang tersisa di Indonesia, terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Papua 2019-2023, tutupan hutan yang masih utuh dengan luas mencapai 32 juta ha memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi, diantaranya 602 jenis burung, 223 jenis mamalia, 223 jenis reptil, dan 1.030 jenis tumbuhan.. Aset sangat bernilai ini tentu harus dijaga.

Pada Oktober 2018, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat menandatangani nota kesepahaman penyamaan visi pembangunan berkelanjutan. Jika Papua Barat memiliki Perdasus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan, Provinsi Papua juga memiliki rencana pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Visi Papua 2100.

Freddy Moele, Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua, mengatakan pembangunan di Papua harus tetap menjaga keseimbangan hidup antara manusia dengan alam sekitarnya. “Mimpi kami, supaya orang Papua tetap hidup dengan alamnya, dengan apa yang mereka punya,” kata Freddy. Salah satu target dari Visi Papua 2100 adalah rasio 70-30, yakni mempertahankan tutupan hutan 70 persen dari wilayah Provinsi Papua. “Sisanya, 30 persen itu yang bisa dimanfaatkan.”

Salah satu bentuk pemanfaatan lahan secara berkelanjutan di Papua adalah perkebunan kopi di dataran tinggi Jayawijaya. Namun masih ada sejumlah persoalan dalam pengembangan kopi Jayawijaya ini. “Persoalan kami yang mendasar adalah keberlanjutan. Pada saat investasi masuk, kalau petani tidak bisa menjamin dapat sekian produksinya dalam sebulan, maka investor akan mundur,” kata Freddy. Masalah kedua adalah rantai perdagangan. “Banyak tengkulak yang masuk sampai ke rumah-rumah. Itu yang tidak terdeteksi dengan baik.”

Lantaran dikembangkan di dataran tinggi di atas rata-rata daerah lain, menurut Irvan, kopi Wamena – salah satu kopi dari dataran Jayawijaya - punya ciri khas tersendiri. Unik dan enak. “Kopi-kopi Papua itu nggak earthy. Dia itu lebih ke fruity, floral. Ada wangi bunga-bungaan,” Irvan menuturkan. Dulu, Anomali pernah membeli kopi-kopi dari Papua, terutama kopi Wamena. Tapi dalam beberapa bulan terakhir, tak ada lagi kopi Papua di Anomali.

Bukan rasa yang jadi soal. “Saya ngerasa, kok susah sekali beli kopi Papua,” ujar Irvan. Bukan lantaran tak ada lagi kopi Papua dan pedagangnya. Anomali, menurut dia, tak membeli kopi dari pedagang atau tengkulak. Anomali selalu membeli langsung kopi ke koperasi petani, sehingga asal-usul kopinya bisa dilacak. Namun ada masalah ‘komunikasi’ yang membuat Anomali memutuskan ‘mundur’ dari Papua. “Kopi-kopinya enak banget, rasanya enak banget. Tapi pelaku usaha, koperasi petani dan pemerintah daerah perlu berkomunikasi intens untuk memastikan dealing business jangka panjang berjalan mulus.”

Berbagai tantangan memang masih dihadapi dalam pengembangan komoditas unggulan di Bumi Cendrawasih. Meski demikian, tantangan tersebut perlahan mulai teratasi melalui komitmen serius kedua provinsi dalam mewujudkan rencana pertumbuhan hijau dan inklusif di wilayahnya. " Konsep pembangunan berkelanjutan itu, bagaimana kita menjaga hutan, bagaimana kita menjaga alam ini tetap menyediakan makan bagi mereka. Jangan sampai habis. Keseimbangan itu yang kita jaga," ujar Freddy.