Meski pemerintah telah mengeluarkan aturan penyederhanaan izin impor kebutuhan bahan pangan pokok guna mengatasai dampak pandemi virus corona (Covid-19), pengamat menilai kebijakan yang diambil pemerintah telat dijalankan.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan, kebijakan relaksasi impor bahan baku yang telah ditetapkan pemerintah ini kurang efektif untuk memastikan ketersediaan pangan. Pasalnya, negara-negara lain juga mengamankan cadangan pangannya demi menghadapi pandemi Covid-19.
Selama pandemi, sejumlah negara lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri ketimbang ekspor. Contohnya, Vietnam dan Thailand, yang merupakan pemasok utama beras dunia, tengah membatasi ekspor beras.
Selain itu, importasi daging kerbau juga tengah menghadapi kendala lantaran negara produsen, India, tengah melakukan karantina wilayah (lockdown).
"Relaksasi impor menjadi hal yang tidak mudah dalam kondisi saat ini. Kalau dibilang kebijakan ini telat, ya memang terlambat," kata Khudori kepada Katadata.co.id, Senin (27/4).
Namun, ia menilai kondisi global belum menghadapi tekanan pada produksi pangan, melainkan permasalahan rantai pasok. Permasalahan ini ditimbulkan oleh sedikit terhambatnya pemrosesan pangan, logistik, dan transportasi seiring dengan adanya pembatasan aktivitas manusia.
Agar relaksasi impor ini efektif, pemerintah harus turun tangan melakukan diplomasi antar pemerintah untuk mempermudah importasi. Pasalnya, sulit jika pemerintah hanya melonggarkan aturan, namun swasta harus jalan sendiri.
(Baca: RI Impor Barang untuk Tangani Corona Rp 777 M, Terbesar dari Tiongkok)
Pendapat sedikit berbeda dilontarkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah. Menurutnya, kebijakan relaksasi pangan tergolong efektif untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sebab, sejumlah pihak memperkirakan akan ada ancaman krisis pangan baru pada akhir tahun ini.
Meski begitu, ia meminta pemerintah berhati-hati agar pangan yang diimpor tersebut tidak mengancam produksi petani. Selain itu, Rusli juga mengingatkan agar relaksasi ini dikawal, sehingga tidak menjadi ajang perburuan rente.
Komoditas yang dirasa perlu mendapat relaksasi impor menurutnya, adalah komoditas gula dan beras. Seperti diketahui, harga gula pasir melambung di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) sejak awal tahun. Padahal, pemerintah telah membuka keran impor serta mengalihkan gula pabrik untuk kebutuhan konsumsi.
Sementara, untuk beras diramalkan akan terjadi defisit stok akhir tahun, sehingga beras impor diperlukan untuk memenuhi konsumsi bulan September 2020 mendatang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan penataan dan penyederhanaan izin impor untuk kebutuhan bahan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku dan penolong. Ketentuan tersebut termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2020 yang diteken pada 8 April 2020.
Penataan dan penyederhanaan izin ini dilakukan untuk mempercepat impor, demi menjaga ketersediaan barang konsumsi kebutuhan masyarakat yang terjangkau. Tujuan lainnya yang diharapkan tercapai adalah, menjaga keberlangsungan proses produksi industri yang memerlukan bahan baku dan/atau bahan penolong.
(Baca: Relaksasi Aturan, 28 Ribu Ton Bawang Putih Masuk RI Tanpa Izin Impor)