Pemerintah Sebut Impor Jagung Telah Menghitung Kepentingan Semua Pihak

ANTARA FOTO/ZABUR KARURU
Pekerja mengemas jagung yang akan didistribusikan ke peternak di Gudang Bulog, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (24/1/2019). Jagung tersebut merupakan jagung impor gelombang kedua dari Brazil, sebanyak 26 ribu ton yang merupakan bagian dari total 100 ribu ton jagung impor dan selanjutnya didistribusikan ke sejumlah peternak di wilayah Jawa dan sekitarnya.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
21/2/2019, 15.06 WIB

Pemerintah menyatakan pengambilan kebijakan impor jagung  telah mempertimbangkan sejumlah aspek kepentingan petani dan  pelaku usaha. Minimnya pasokan jagung ketika musim panceklik berpotensi menggerek harga jagung sehingga bisa berakibat pula pada peternak ayam dan telur.

Meski demikian, impor jagung dengan alasan mengantisipasi kenaikan harga pakan ternak juga tidak boleh dilakukan berbarengan dengan masa panen. "Keputusan yang kami ambil harus menjaga keseimbangan seluruh pihak," kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Kamis (21/2).

Kebijakan pemerintah harus memprioritaskan kepentingan produsen dan konsumen. Sehingga, salah satu aspek penting dalam memutuskan  impor adalah melalui pendataan yang akurat. 

(Baca: Pengusaha Pakan Ternak Bantah Klaim Pemerintah soal Harga Jagung Turun)

Menurutnya, keputusan impor jagung sebesar 280 ribu ton  sejak Oktober 2018 sampai Maret 2019 telah melalui perhitungan panen di beberapa tempat. Selain itu, perbedaan harga jagung di daerah juga menjadi patokan pemerintah sebelum memutuskan impor.

Pembahasan impor dalam Rapat Koordinasi Terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga ikut melibatkan kementerian dan lembaga teknis serta pelaku usaha sektor terkait untuk meminta masukan. "Pengambilan kebijakan itu berdasarkan Rakortas dengan pembahasan yang mendalam," ujar Susiwijono.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika justru menilai intervensi impor yang dilakukan pemerintah terlambat. Sebab,  produksi tahun lalu sudah diprediksi rendah daripada 2017.

Akibat produksinya yang rendah, harga jagung pada tahun lalu sempat di atas Rp 5 ribu per kilogram  (kg). Padahal,  pada 2017 harga jagung masih berada dalam level stabil Rp 3 ribu  per kg dengan harga acuan sebesar Rp 4 ribu per kg.

Menurut Pataka, tren harga terus meningkat tergantung siklus musiman. "Pemerintah harus ingat ada musim panen raya di semester pertama tahun dan pasti bakal paceklik pada semester kedua," kata Yeka.

(Baca: Impor Berkurang, Jokowi Apresiasi Petani Jagung dalam Debat Capres)

Dia juga menyoroti soal klaim ekspor jagung Kementerian Pertanian sebesar 372 ribu ton. Menurutnya, hal tersebut tidak terlalu istimewa, sebab Indonesia sudah melakukan ekspor selama beberapa tahun terakhir.  Ekspor itu merupakan salah satu saluran penjualan yang kebanyakan dilakukan di daerah perbatasan.

Misalnya mengenai ekspor ke Filipina. Negara tersebut pasti bakal meminta ekspor jagung dari Sulawesi karena wilayahnya lebih dekat. Alhasil, ongkos kirim dari Sulawesi ke Filipina pun akan lebih murah dibandingkan jika mengambil pasokan dari sentra jagung di Jawa. 

Peneliti Visi Teliti Saksama Nanug Pratomo memberi pandangan berbeda. Dia menjelaskan rantai pasokan juga harus mendapatkan perhatian pemerintah. Sebab, distribusi logistik jagung juga menjadi salah satu faktor pembentuk harga.

Nanug mengungkapkan adanya pengepul pada rantai pasok jagung membuat dari produsen menjadi lebih tinggi ketika sampai ke konsumen. "Panjangnya rantai distribusi yang jadi penyebab kenapa harga jagung fluktuatif," ujarnya.

Karena itu, pemerintah juga harus menyelesaikan permasalahan tentang sistem logistik terutama pada komoditas pangan seperti padi, jagung, dan kedelai. Jika permasalahan distribusi bisa terselesaikan, dia yakin upaya pemerintah untuk peningkatan produksi dan perbaikan harga jagung bakal lebih baik.

Reporter: Michael Reily