Diskriminasi Sawit, Faisal Basri Saran Diplomasi Tidak Lewat Luhut

Arief Kamaludin|Katadata
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. Faisal Basri menyarankan diplomasi yang sejuk dalam persoalan ini.
Editor: Ekarina
29/3/2019, 07.40 WIB

Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri meminta pemerintah instropeksi diri perihal pemboikotan produk kelapa sawit oleh Uni Eropa. Menurut Faisal, kurang tepat apabila pejabat pemerintah di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan merespons dengan mengancam balik boikot produk Benua Biru. 

"Kenapa Uni Eropa memboikot sawit kita? Karena banyak lahan tumpang tindih sawit termasuk ratusan ribu hektar yang harusnya hutan," ujar Faisal di Jakarta (28/3).

Faisal menilai permasalahan pemboikotan yang dilakukan oleh Uni Eropa, lebih mengarah pada isu lingkungan. Adapun jika nantinya pemerintah berencana tetap memperkarakan masalah  tersebut, langkah paling tepat menurutnya adalah dengan membawa persoalan itu langsung ke World Trade Organization atau WTO

(Baca: Pengusaha Dukung Upaya Pemerintah Gugat Diskriminasi Sawit Uni Eropa)

Faisal pun menyarankan permasalahan dengan Uni Eropa,  sebaiknya diselesaikan melalui satu pintu dan diserahkan ke Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, bukannya Luhut. 

"Kalau ada apa-apa ini bukan urusan sekedar sawit, tapi urusan diplomasi secara keseluruhan. Kalau yang diplomasi Luhut, panas terus. Kalau ibu Retno kan sejuk," katanya.

Luhut sempat bersuara keras sebagai respons atas pemboikotan kelapa sawit. Dia pernah
mengancam akan membalas kebijakan Uni Eropa dengan pemboikotan. "Kita negara besar, memiliki kedaulatan yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun," kata Luhut beberapa waktu lalu.

Luhut beralasan minyak sawit merupakan komoditas yang sangat penting bagi Indonesia, terutama dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan. Saat ini, industri kelapa sawit diketahui menyerap 7,5 juta orang secara langsung dan ditambah 12 juta orang secara tidak langsung.

(Baca: Diskriminasi Sawit, Pemerintah Akan Tempuh Jalur Hukum Lawan Uni Eropa)

Sementara dari sisi perdagangan, kelapa sawit merupakan komoditas andalan Indonesia. Ini tercermin dari nilai kontribusi ekspor Crude Palm Oil (CPO) pada 2018 senilai US$ 17,89 miliar. Industri ini berkontribusi hingga 3,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebelumnya, Komisi Uni Eropa berencana mengeluarkan komoditas minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel berdasarkan rancangan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/ REDII) dan dituangkan dalam regulasi turunan (delegated act). Saat ini rancangan tersebut tengah dibahas dan tinggal menunggu  pengesahan dari Parlemen Eropa.

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend mengatakan ada kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi tinggi periode 2008-2015. Dari data yang diterimanya, 45% dari ekspansi kelapa sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi.

Reporter: Verda Nano Setiawan