Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan biaya diskriminasi sawit akan ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Namun, biaya yang ditanggung masih dalam tahap diskusi.
"Pembiayaan akan kami bicarakan. Sampai saat ini BPDP siap mendukung namun kami belum memutuskan," kata Oke di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (13/6).
(Baca: Diskriminasi Sawit, Pemerintah Siapkan Konsultan Hukum untuk Gugat UE)
Oke menerangkan diskusi tersebut juga akan bergantung pada firma hukum internasional yang terpilih. Saat ini, pemerintah belum memutuskan firma hukum yang akan mendampingi gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Ada pun, gugatan akan dilakukan secara paralel, baik dari pemerintah kepada WTO dan pengusaha sawit kepada Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU).
Oke belum memastikan tenggat waktu terpilihnya firma hukum tersebut. "Mereka (firma hukum) sedang presentasi ke kami. Nanti kami tentukan panitia siapa, dan kami pun lagi menentukan sejauh mana akan bergerak," katanya.
(Baca: Pertengahan Mei, Aturan Diskriminasi Sawit dari Uni Eropa Berlaku)
Uni Eropa memberlakukan kebijakan Delegated Regulation Supplementing Directive of The UE Renewable Energy Directive (RED) II. Dengan berlakunya RED II, pada 2020-2023 konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi di Uni Eropa akan dibatasi. Jumlahnya tidak boleh lebih besar dari konsumsi tahun ini. Kemudian, pada 2024 angkanya akan terus turun secara bertahap hingga nol persen di 2030.
Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap ekspor minyak sawit Indonesia. Karena itu, pemerintah akan menempuh jalur hukum. Isi gugatannya akan dirumuskan oleh Kementerian Perdagangan dan diajukan ke WTO.
Pemerintah berencana melakukan diskusi lagi dengan Uni Eropa. Hasil diskusinya akan digunakan untuk mengkaji The Delegated Act pada 2021. The Delegated Act merupakan aturan yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi.