Indonesia dan Uni Eropa akan mengkonsultasikan kasus aduan diskriminasi sawit dan pelarangan ekspor bijih nikel (ore) pada akhir Januari 2020. Pembahasan kedua sengketa tersebut akan dilakukan dalam waktu yang berdekatan.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan, Uni Eropa menggugat larangan ekspor bijih nikel ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan nomor aduan DS 592. Sedangkan Indonesia mengadukan Uni Eropa terkait diskriminasi sawit dengan nomor kasus DS 593.
"Konsultasinya Januari dan berdampingan. Ini untuk efisiensi. Jadi akan ramai tahun depan dengan Uni Eropa," kata Pradnya di Wisma Bisnis, Jakarta, Selasa (17/12).
(Baca: Gugatan Sawit di WTO Tak Ganggu Perundingan Dagang RI-Uni Eropa)
Pemerintah telah menunjuk firma hukum asal Belgia, Van Bael & Bellis (VBB) untuk menangani sengketa diskriminasi sawit. VBB akan memfokuskan aduan ke Uni Eropa dan undang-undang persaingan nasional, hukum perdagangan dan bea cukai Uni Eropa, hukum pengaturan, serta hukum bisnis Belgia.
Sebagai informasi, pemerintah resmi menggugat Uni Eropa ke WTO terkait diskriminasi sawit yang tertuang dalam aturan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa. Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biodiesel Indonesia.
Di sisi lain, Uni Eropa juga mengadukan Indonesia atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel ke WTO. Uni Eropa menuding pelarangan ekspor bijih nikel merupakan bagian dari rencana Indonesia untuk mengembangkan industri stainless steel di dalam negeri secara tidak adil.
Mengutip dari Antara, Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri Hari Prabowo mengatakan, konsultasi terkait ekspor bijih nikel kemungkinan dilakukan di Jenewa.
(Baca: Hadapi Gugatan Uni Eropa, Jokowi: Jangan Grogi)
Menurutnya, proses konsultasi bisa menjadi tempat untuk menjelaskan maksud pembatasan ekspor bijih nikel Indonesia. Pemerintah menyebut, kebijakan itu sudah dilakukan sesuai ketentuan WTO.
Jika dalam proses konsultasi kedua pihak sudah mencapai kesepakatan, maka kasus tersebut tidak perlu dibawa ke panel WTO yang menyentuh ranah hukum.
Pemerintah melihat proses penyelesaian sengketa di WTO sebagai sarana untuk mendiskusikan kebijakan perdagangan, bukan sebagai perang dagang.