Uni Eropa menetapkan batas maksimum minyak sawit sebagai bahan makanan. Hal itu disinyalir merupakan upaya baru Benua Biru mendiskriminasi minyak sawit dengan jenis minyak nabati lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana Uni Eropa untuk meningkatkan standar batas aman terhadap kontaminan 3-monochlorpropanediol (3-MCPD) dalam bahan makanan, merupakan langkah yang diskriminatif.
Kebijakan itu juga ditentang oleh negara-negara penghasil sawit lainnya (CPOPC).
(Baca: Presiden Jokowi: Tidak Masalah Uni Eropa Tak Beli CPO Indonesia)
Pada 2021 Uni Eropa akan menerapkan batas aman (safety level) 2,5 ppm terhadap kontaminan 3-MCPD untuk minyak sawit sebagai bahan makanan. Sedangkan pada minyak nabati lain, seperti minyak canola dan kedelai hanya ditetapkan 1,25 ppm.
“Konsumen akan disesatkan untuk percaya bahwa minyak sawit itu lebih buruk daripada minyak nabati yang memiliki batas 3-MCPD lebih rendah,” kata Airlangga di Jakarta, Jumat (7/2).
Selain itu, langkah ini juga dinilai menjadi hambatan perdagangan lain bagi Indonesia, terutama pasca-minyak biodiesel dikategorikan sebagai minyak nabati yang berisiko tinggi dalam Kebijakan Red II dan Indirect Land Use Change (ILUC).
"Mereka menaikkan eskalasi dagangnya, menetapkan standar yang lebih tinggi lagi agar kelapa sawit mendapatkan hambatan non-tarif. Hambatan ini merupakan kampanye terhadap konsumen. Ini yang paling bahaya," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendukung CPOPC yang merekomendasikan batas maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm agar sebaiknya diberlakukan untuk semua minyak nabati. Dengan begitu, tidak perlu ada perbedaan batas maksium di antara berbagai minyak nabati.
(Baca: Pengusaha Nilai Brexit Tak Berdampak Besar ke Ekspor Minyak Sawit RI)
Isu standar batas aman kontaminan 3-monochlorpropanediol (3-MCPD) dan glycidol esters (GE) muncul setelah penelitian di Uni Eropa menyatakan minyak sawit mengandung 3-MCPD dan GE yang tertinggi diantara minyak nabati lainnya.
Senyawa 3-MCPD merupakan senyawa hasil hidrolisis 3-MCPD ester yang dinilai memiliki efek negatif terhadap kesehatan.