Presiden Joko Widodo melarang mudik Lebaran pada tahun ini untuk mencegah penyebaran Covid-19. Rencananya, larangan itu akan berlaku mulai Jumat, 24 April 2020 hingga hari kedua Lebaran, dan dapat diperpanjang.
“Pelarangan mudik akan diberlakukan sampai dengan tanggal 2 Syawal 1441 H, dan dapat menyesuaikan dengan memperhatikan dinamika perkembangan pandemi Covid-19,” kata Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati dalam siaran pers, Selasa (22/4).Bottom of Form
Hal itu akan diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan yang pembahasannya melibatkan pemangku kepentingan terkait seperti Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kepolisian dan lainnya. Terkait dengan larangan mudik, pemerintah juga akan memberlakukan sanksi secara penuh pada Kamis, 7 Mei 2020.
Pelarangan mudik berlaku untuk wilayah Jabodetabek dan wilayah-wilayah yang sudah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, larangan mudik juga berlaku untuk wilayah yang masuk zona merah virus corona.
(Baca: Positif Corona di RI 7.418 Orang, Lebih dari 900 Pasien Telah Sembuh)
Bagaimanapun, skenario larangan mudik di Indonesia sedikit berbeda dengan lockdown yang berlaku di beberapa negara. Di sini, pemerintah akan membatasi lalu lintas pada akses keluar masuk wilayah, bukan menutup jalan.
Dengan begitu, lalu lintas orang untuk keluar dan masuk dari dan ke wilayah, khususnya Jabodetabek, tidak diperbolehkan. Sedangkan angkutan barang atau logistik masih dapat beroperasi.
Menurut para ilmuwan, penularan virus corona terjadi dari manusia ke manusia, karena itu membatasi pergerakan massa menjadi kunci dalam pengendalian pandemi.
Banyak negara telah berminggu-minggu melakukan karantina dalam berbagai skala, dari lockdown total, hingga PSBB yang masih memungkinkan pergerakan orang secara terbatas di dalam wilayah. Di Jakarta misalnya, KRL masih beroperasi secara terbatas, berbeda dengan lockdown Wuhan yang diterapkan lebih ketat.
Yang mungkin masih sering luput, bahwa kebijakan ini juga memicu kecemasan, stres, dan depresi. Tiongkok dan beberapa negara Eropa saat ini dilaporkan mulai melonggarkan karantina. Beberapa larangan mulai dicabut dan warga berangsur kembali ke aktivitas semula.
(Baca: Dukung Larangan Mudik, Jasa Marga Siap Jalankan Pembatasan Ruas Tol)
Dikutip IFL Science, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperbarui pedoman Rencana Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi Covid-19. Berikut adalah enam kriteria dari WHO yang harus dipenuhi suatu negara sebelum mencabut aturan lockdown. Berikut daftarnya:
Penularan Covid-19 mampu dikontrol
Sebelum melonggarkan karantina, Negara perlu memastikan tidak ada lagi penyebaran virus corona telah terbendung, atau setidaknya turun ke level rendah dengan penurunan jumlah kasus baru. Wilayah telah terdeteksi, dengan tingkat keparahan yang mampu ditangani oleh layanan medis setempat.
Kesiapan sistem kesehatan
Sebelum isolasi dibuka, sistem kesehatan di wilayah terdampak harus mampu mendeteksi, menguji, mengkarantina dan menangani kasus Covid-19. Layanan Kesehatan juga harus sudah tersedia untuk semua orang, bukan hanya bagi kasus yang parah.
Warga berisiko tinggi terlindungi
Menurut WHO, orang tua dengan penyakit penyerta menjadi kelompok yang paling rentan dalam penularan virus corona. Maka, lokasi-lokasi rawan penularan infeksi, seperti panti jompo harus terlindungi dengan baik.
(Baca: Mudik Dilarang, Kemenhub Bakal Tutup Jalan Arteri Mulai 24 April)
Kesiapan fasilitas umum, sekolah dan tempat kerja
Semua fasilitas umum, sekolah dan tempat kerja harus mematuhi aturan mengenai jaga jarak. Selain itu, fasilitas untuk mencuci tangan, dan pengecekan temperatur tubuh untuk menghindari penularan sekunder harus tersedia.
Mampu menekan penularan via pendatang
Setelah kondisi di wilayahnya terkendali, otoritas perhubungan harus mengantisipasi penularan dari luar negeri alias imported case. Terminal, stasiun, bandara dan pelabuhan dapat menjadi ‘zona merah’ karena virus itu bisa saja dibawa oleh pendatang. Deteksi dan karantina harus dilakukan dengan cepat.
Warga tersosialisasi dan taat aturan
Menumbuhkan kesadaran individu untuk berdiam diri di rumah merupakan bagian tersulit dalam aturan lockdwon. Padahal kebijakan ini membutuhkan kerja sama negara dan penduduknya.
Untuk penerapan yang komprehensif, pemerintah harus menjalankan sosialisasi dengan jelas kepada warga negara untuk memastikan setiap aturan dipahami, lantas dipatuhi. Adanya sanksi bisa menjadi salah satu jalan efektif untuk menegakkan aturan.