Di Balik Tangis Pembelaan Ahok dan Dahlan di Ruang Sidang

KATADATA/CNN Indonesia/Safir Makki/POOL
Sidang perdana kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di bekas Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (13/12).
Penulis: Safrezi Fitra
14/12/2016, 17.24 WIB

Dua tokoh nasional tak kuasa menahan tangis, saat membacakan eksepsi untuk membela diri pada sidang perdananya masing-masing di hari yang sama, Selasa (13/12). Mereka adalah calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.

Mereka tengah menghadapi kasus yang berbeda. Di tengah masa kampanyenya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, Ahok dituntut atas tuduhan penistaan agama. Sedangkan Dahlan dituduh melakukan korupsi saat menjadi memimpin Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Timur, PT Panca Wira Usaha (PWU).

Dalam sidang perdananya kemarin, Ahok membantah melakukan penodaan terhadap agama Islam dengan menyinggung Al-Quran surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu, 27 September lalu. Dalam nota keberatan sepanjang delapan halaman yang dibacakannya sendiri, Ahok menegaskan tidak bermaksud menodakan agama Islam.

Ahok mulai menitikkan air mata saat menceritakan keluarga angkatnya. Sambil terbata-bata, dia mengaku telah diangkat anak oleh keluarga pasangan muslim H. Andi Baso Amier dan Hj. Misribu. Andi Baso adalah mantan Bupati Bone, yang merupakan adik kandung dari mantan Panglima ABRI Alm. Jenderal TNI (Purn.) Muhammad Jusuf.

"Ayah saya dan ayah angkat saya bersumpah untuk menjadi saudara sampai akhir hayatnya," kata Ahok. (Baca: Ahok: Pernyataan Soal Surat Al Maidah 51 Ditujukan Bagi Elite Pengecut)

Bahkan, biaya kuliah pertamanya saat S2 dibayarkan oleh kakak angkatnya. Karena itu, Ahok merasa seperti orang yang tidak tahu berterima kasih jika tidak menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak angkatnya, yang merupakan muslim taat.

Selain itu, Ahok menyayangkan apabila ada pihak yang menuduhnya sebagai penista agama. Sebab, tuduhan tersebut sama saja dengan dirinya menistakan orang tua dan saudara angkatnya.

“Saya seperti orang yang tidak tahu terima kasih apabila tidak menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak saya yang Islamnya sangat taat,” ujarnya dengan suara bergetar. Terlihat penasihat hukumnya memberikan tisu kepada Ahok untuk menyeka air matanya.

Berbeda dengan kasus Ahok, Dahlan menilai tuduhan korupsi yang diajukan jaksa tidak benar. Dahlan dituduh melakukan korupsi penjualan aset Panca Wira Usaha saat menjadi Direktur Utama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Timur tersebut 15 tahun silam.

Dia dituduh merugikan negara karena menjual aset pemerintah daerah tanpa sepengetahuan DPRD. Padahal, menurut Dahlan, BUMD ini sudah berstatus perseroan terbatas (PT). Artinya, aset perusahaan tersebut bukanlah aset pemda.  (Baca: Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat)

Karena berstatus PT, pengambilan keputusan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), bukan DPRD. Meski penjualan dua aset PWU sudah disepakati RUPS, Dahlan tetap meminta persetujuan DPRD melalui suratnya pada Maret 2001. Enam bulan berselang, surat tersebut baru berbalas.

Karena itulah, Dahlan merasa sedih dengan gugatan jaksa yang membawanya ke Pengadilan Tipikor. Bahkan, dia mengaku sebenarnya telah berkorban banyak untuk menyelamatkan TWU yang sudah hampir mati. 

Saat menjadi Direktur Utama PWU, dia tidak pernah digaji, tidak mendapat fasilitas apapun, dan perjalanan dinas dilakukan dengan uang pribadinya. Bahkan, Dahlan menjaminkan dirinya untuk pinjaman PWU sebesar Rp 40 miliar dan deposito pribadi Rp 5 miliar. Hal ini dilakukan karena Pemda Jawa Timur tidak mau lagi memberi tambahan modal, dan perbankan pun enggan memberi pinjaman karena masih ada kredit yang macet  

“Sebenarnya masih ada yang lebih besar lagi pertaruhan harta saya untuk membuat PWU tidak terpuruk. Tapi ijinkan yang satu ini tidak saya ungkap agar masih ada tersisa pahala untuk saya di sisi Yang Maha Kuasa,” kata Dahlan sambil menahan tangis di hadapan majelis hakim. Tangannya terlihat gemetar memegang telepon seluler (ponsel) yang berisi teks nota pembelaannya.

Kepada hakim, Dahlan menjelaskan kasus yang dihadapinya seperti ini banyak terjadi di Indonesia. Banyak kasus besar yang sangat jelas permainan kotornya tidak diperkarakan oleh Jaksa. Sebaliknya, kasus yang jelas-jelas sulit disebut korupsi justru diperkarakan dengan menggunakan segala cara.

Dahlan berharap, perkara seperti yang dihadapinya sekarang tidak sampai masuk ke pengadilan. Kalau sudah terlanjur di pengadilan, tidak perlu diteruskan. “Jangan sampai pengadilan ini menjadi pengadilan sesat,” ujarnya.

Sejumlah tokoh nasional  terlihat menghadiri persidangan Dahlan untuk memberikan dukungan. Beberapa di antaranya mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri, dan pakar komunikasi Universitas Indonesia Efendi Gazali. Sebelumnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pun ikut hadir.