Isi Lengkap Pledoi Ahok: Saya Ini Korban Fitnah

POOL/KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (25/4/2017).
25/4/2017, 12.36 WIB

Sidang kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa ini (25/4), menyedot perhatian besar dari masyarakat. Sebab, Ahok membacakan nota pembelaannya atau pledoi atas tuntutan jaksa pekan lalu berupa hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. 

Pembacaan nota pembelaan tersebut sebelumnya dijadwalkan pada 17 April lalu. Namun, karena jaksa menyatakan belum siap, agenda itu dilaksanakan pada hari ini. Dalam nota pembelaan dengan nomor 1537/Pid.B/PN.JKT.UTR sebanyak lima halaman, Ahok menyatakan tidak memiliki niat sedikit pun untuk menghina golongan tertentu.

(Baca: Dituntut Masa Percobaan 2 Tahun, Ahok Tak Akan Ditahan)

“Walaupun saya difitnah dan dicaci maki, dihujat karena perbedaan iman dan kepercayaan saya, saya akan tetap melayani dengan kasih,” ujar Ahok ketika membacakan pledoinya, Selasa (25/4). Berikut ini isi lengkap nota pembelaan Ahok bertajuk “Tetap Melayani Walau Difitnah”.

Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan, Yang saya hormati:
Tim Penuntut Umum
Polisi, TNI dan Petugas Pengadilan
Wartawan, Hadirin dan Penasehat Hukum

Pertama-tama Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim atas kesempatan yang diberikan kepada Saya.Setelah mengikuti jalannya persidangan, memperhatikan realitas yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, serta mendengar dan membaca tuntutan Penuntut Umum, yang ternyata mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan agama seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini dan karenanya terbukti saya bukan penista/penoda agama. Saya mau tegaskan, selain saya bukan penista/penoda agama. Saya mau tegaskan, selain saya bukan penista/penoda agama, saya juga tidak menghina suatu golongan apapun.

Majelis Hakim yang saya muliakan,
Banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah. Bahkan Penuntut Umum pun mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa saat di Kepulauan Seribu, banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungan saya dan bahkan disiarkan secara langsung yang menjadi materi pembicaraan di Kepulauan Seribu, tidak ada satu pun yang mempersoalkan, keberatan atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut.

(Baca: Ke Istana Satu Hari Jelang Pilkada, Ahok Bicara Sembako dan Sepeda)

Bahkan pada saat saya diwawancara setelah dialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu. Namun baru menjadi masalah 9 (sembilan) hari kemudian, tepatnya tanggal 6 Oktober 2016 setelah Buni Yani memposting potongan video sambutan saya dengan menambah kalimat yang sangat provokatif, barulah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa terhina, padahal mereka tidak pernah mendengar langsung bahkan tidak pernah menonton video sambutan saya secara utuh.

Adapun salah satu tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah adalah dari Goenawan Mohammad: "Stigma itu bermula dari fitnah. Ahok tidak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus-menerus diulang akan menjadi "kebenaran". Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian."

"Ahok pun harus diusut oleh pengadilan, dengan undang-undang"penistaan agama" yang diproduksi rezim Orde Baru, sebuah undang-undang yang batas pelanggarannya tak jelas, dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu. Walhasil, Ahok diperlakukan tidak adil, dalam tiga hal (1) difitnah, (2) dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, (3) diadili dengan hukum yang meragukan. Mengakui adanya ketidakadilan di dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok, yang tidak bisa diubah, sebuah ketidakjujuran."

Majelis Hakim yang saya muliakan,
Ketika saya memilih untuk mengabdi melayani bangsa tercinta ini, saya masuk ke pemerintahan dengan kesadaran penuh untuk mensejahterakan rakyat-otak, perut, dan dompet penuh. Untuk itu, ketika saya memberikan sambutan di Pulau Pramuka, saya memulai dengan kalimat bahwa saya mau cerita ini, biar Bapak Ibu semangat.

Dari sambutan saya, jelas sekali bahwa saya hanya punya satu niat saja agar warga tebal kantongnya, mau ambil program yang sangat menguntungkan ini. Terbukti Penuntut Umum mengakui bahwa saya tidak punya niat sedikitpun untuk menista/menodai agama. Dan saya tegaskan, saya pun tidak punya niat sedikitpun untuk menghina golongan tertentu.

Majelis Hakim yang saya muliakan,
Bicara mengenai melayani orang lain, mengingatkan saya ketika saya mengajak anak-anak TK yang mengunjungi saya di Balaikota untuk bersama menonton cuplikan film Finding Nemo melawan arus. Setelah itu saya menjelaskan apa pesan moral dair film Finding Nemo, sebagaimana dapat dilihat dalam video youtube yang saya kutip kembali sebagai berikut:

"Bapak mau kasih tahu melalui pelajaran ikan ini, kalian bisa lihat ngga tadi? Papanya tidak izinkan Nemo masuk ke jaring. Ya...jadi jaring tadi, Nemo bisa keluar masuk kan? Ikan besar kan tertangkap? Kalau Nemo ga mau masuk boleh ga? boleh juga, buat apa dia membahayakan nyawanya. Dia masuk...padahal papanya khawatir, kalau masuk, ikan gitu banyak, bisa kejepit, bisa keangkat. Nah hidup kita di zaman orang-orang itu kadang-kadang berenangnya salah arah...jadi persis seperti ikan. Yang benar harus berenang ke bawah, tapi semua ikan ikut jaring ke atas".

"Kalau dibiarkan ikut ke atas ikan-ikan ini ketangkap akan mati ga? (jawaban anak-anak) mati! Nah bagaimana mereka bisa tahu apa yang benar? Nemo yang tahu! Waktu Nemo minta berenang berlawanan arah, kira-kira orang nurut ga? Ga nurut pertama. Jadi sama, kita hidup di dunia ini...kadang kita melawan arus, melawan orang ke arah berbeda sama kita. Tapi kita tetap lakukan demi menyelamatkan dia, dia bilang kalau ngga si Dori bisa mati nih, ikan yang biru tadi.  Jadi papanya pun mengikhlaskan...merelakan anaknya untuk masuk. Lalu ketika dia mulai teriak minta turun..Nemo...papanya tau ngga risiko Nemo? Tahu bisa kejepit mati ikan kecil. Lalu begitu terlepas, ada ngga ikan yang berterima kasih kepada Nemo yang terkapar pingsan? Tidak ada!".

"Jadi inilah yang harus kita lakukan, sekalipun kita melawan arus semua, melawan semua orang berbeda arah, kita harus tetap teguh. Semua tidak jujur, ngga papa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita juga tidak peduli karena Tuhan yang menghitung untuk kita, bukan orang. Nah, ini pelajaran dari film ikan Nemo, jadi bukan soal ketangkap ikannya itu tadi. Jadi orang tanya sama saya, kamu siapa? Saya bilang saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta...seperti itu. Nah ini pelajaran untuk kita...(disambut tepuk tangan anak-anak)".

Majelis Hakim yang saya muliakan,
Sambutan tepuk tangan anak-anak kecil di akhir cerita saya tersebut, memberikan saya penghiburan dan kekuatan baru untuk terus berani melawan arus menyatakan kebenaran dan melakukan kebaikan sekalipun seperti ikan kecil Nemo dilupakan, karena saya percaya di dalam Tuhan segala jerih payah kita tidak ada yang sia-sia.

Tuhan yang melihat hati, mengetahui isi hati saya. Saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta, yang akan terus menolong yang miskin dan membutuhkan (poor and needy) walaupun saya difitnah dan dicaci maki, dihujat karena perbedaan iman dan kepercayaan saya, saya akan tetap melayani dengan kasih. (Baca: Hitungan Final KPU: Anies 57,95 Persen, Ahok 42,05 Persen Suara)

Majelis Hakim yang saya muliakan,
Saya bersyukur, karena dalam persidangan ini saya bisa menyampaikan kebenaran yang hakiki dan saya percaya bahwa  Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini tentu akan mempertimbangkan semua fakta dan bukti yang muncul dalam persidangan ini di mana Penuntut Umum mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan/penodaan agama seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini dan karenanya terbukti saya bukan penista/penoda agama. 

Berdasarkan hal tersebut di atas, haruskah masih dipaksakan bahwa saya menghina suatu golongan? Padahal tidak ada niat untuk memusuhi atau menghina siapapun dan tidak ada bukti bahwa saya telah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penghinaan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama atau penghinaan terhadap suatu golongan.

Saya berkeyakinan bahwa Majelis Hakim akan memberikan keputusan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan karena mengambil keputusan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Majelis Hakim yang saya muliakan,
Demikian Nota Pembelaan ini saya buat untuk mematahkan semua tuduhan dan fitnah atas sambutan saya selaku Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjalankan tugas di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 dengan maksud mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program budidaya ikan kerapu, berdasarkan Pasal 31 UU Pemerintah Daerah.

Reporter: Ameidyo Daud