Koalisi Masyarakat Sipil mengecam kriminalisasi terhadap berbagai aktivis yang kritis terhadap pemerintah. Kriminalisasi kerap menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Kasus teranyar, jurnalis dan aktivis Dandhy Dwi Laksono yang dilaporkan oleh DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI-P pada Rabu (6/9). Dandhy dilaporkan dengan tuduhan menghina dan menebarkan kebencian terhadap Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.
Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, LBH Bandung, Imparsial, Kontras, Amnesti International Indonesia, WALHI, Muhammadiyah, HRWG, JMPPK, AJI, dan SAFEnet Indonesia. (Baca: Laporan Polisi terhadap Kaesang Dianggap Tak Disertai Bukti Kuat)
Direktur Eksekutif LBH Jakarta Alghifari Aqsa mengatakan, kasus Dandhy menambah panjang deretan represi dalam berpendapat dan berekspresi. “Ekspresi politik dimaknai ancaman bagi pemerintah. Opini warga dilawan dengan upaya pidana,” kata Alghiffari di Jakarta, Jumat (9/8).
(Baca: Suciwati Kecewa MA Tolak Kasasi Dokumen TPF Kasus Munir)
Merujuk pada data South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sampai dengan Mei 2017 terdapat 129 kasus menggunakan pencemaran nama baik. Sebanyak 44% orang yang dilaporkan adalah orang awam, termasuk buruh, karyawan, dan ibu rumah tangga. Sementara, ada 23 orang aktivis (11%) yang menjadi pihak terlapor.
“Dua di antaranya adalah Ketua FORBali, Gendo karena kritik pedasnya dalam advokasi penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali dan Koordinator Kontras Haris Azhar karena mempersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara,” kata Alghifari.
Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai berbagai pelaporan tersebut mencederai demokrasi. Pasalnya, demokrasi tidak bisa hadir jika kebebasan berpendapat dan berekspresi dibungkam. (Baca: Jika Dibentuk TGPF, Novel Baswedan Akan Beberkan Keterlibatan Jenderal)
“Orang-orang ini dipidana karena bersuara kritis, padahal demokrasi adalah orang bebas bersuara,” kata Asfinawati.
Dia pun mendesak polisi untuk tidak memproses secara hukum berbagai laporan tersebut. Asfinawati mengatakan, sejauh ini polisi masih bersikap tebang pilih dalam memproses laporan yang ada. (Baca: Sederet Kontroversi di Tangan Waseso)
Asfinawati pun mencontohkan perlakuan polisi kepada putra Jokowi, Kaesang Pangarep yang dilaporkan seorang warga Bekasi, Jawa Barat dengan sangkaan menyebarkan ujaran kebencian. Dalam kasus tersebut polisi memutuskan tidak memproses laporan karena menganggap tidak ada unsur pidana.
“Penghentian laporan baru terjadi pada laporan terhadap Kaesang karena dia anak Presiden,” kata Asfinawati. (Baca: Acho dan Nasib Para Konsumen yang Terjerat Pasal Pencemaran Nama Baik)
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin. Nawawi meminta agar polisi tidak menerapkan standar ganda dalam memproses hukum berbagai laporan tersebut. Nawawi mengatakan, hal tersebut dapat membuat masyarakat menjadi takut untuk melakukan kritik terhadap penguasa.
“Polisi jangan lakukan standar ganda terhadap masyarakat,” kata Nawawi.
Asfinawati menilai tulisan Dandhy merupakan bentuk kritik yang dijamin konstitusi. Pemerintah, pejabat publik, maupun ketua partai harus siap menerima kritik sebagai aspirasi masyarakat.
Dandhy menulis artikel berjudul Suu Kyi dan Megawati yang diunggah di Facebook pada 3 September. Dia menggambarkan perjalanan politik Aung San Suu Kyi yang mirip dengan Megawati.
November 2001, di masa Megawati menjadi presiden, justru terjadi pembunuhan politik terhadap Theys Hiyo Eluay yang sebenarnya sedang memimpin transformasi di Papua, dari perlawanan fisik ke diplomasi politik.
Maka hingga kini, apa yang disebut "datangnya hari kemenangan yang tak akan lama lagi" itu, berwujud menjadi penangkapan besar-besaran yang belum terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya sebagai "petugas partai" (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang
Koalisi masyarakat sipil juga meminta masyarakat sipil tidak ragu dalam merawat demokrasi dengan tetap bersuara kritis. Sebab, hal tersebut merupakan hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.
“Kami juga mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk segera mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan membungkan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pasal-pasal yang dimaksud, yakni Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29 UU ITE, serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP,” kata Alghifari.