Sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Senin (26/2). Dalam sidang, majelis hakim hanya menerima berkas formil PK terkait putusan PN Jakut dalam kasus penodaan agama dari kuasa hukum Ahok beserta tanggapan jaksa penuntut umum (JPU).
Usai menerima berkas dari kedua belah pihak, Ketua Majelis Hakim Mulyadi mengatakan akan mengkaji berkas tersebut. Mulyadi mengatakan, pihaknya tak berwenang memutus PK yang diajukan Ahok.
"Dianggap dibacakan, majelis tidak punya kewenangan mengabulkan permohonan yang diajukan pelapor," kata Mulyadi.
Jika berkas memenuhi syarat, nantinya majelis hakim PN Jakarta Utara akan mengirimkannya ke Mahkamah Agung (MA). Rencananya, pengkajian dilakukan dalam waktu sepekan.
"Kami harap (kajian berkas PK) selesai dalam satu pekan. Berkas akan saya berikan ke Mahkamah Agung. Senin mengajukan berita acara pendapat dan akan segera dikirim ke MA sehingga kami tidak perlu buka sidang kembali," kata Mulyadi.
(Baca juga: Ajukan PK Gunakan Putusan Buni Yani, Ahok Dinilai Akan Temui Kesulitan)
Kuasa hukum Ahok, Fifi Lety Indra mengatakan, PK yang diajukan kliennya dilakukan berdasarkan pertimbangan adanya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata. Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan vonis 1,5 tahun terhadap Buni Yani yang dijatuhkan PN Bandung pada 14 November 2017 karena melakukan ujaran kebencian dan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu.
"Ada beberapa poin yang memang kami perlu sampaikan, di antaranya adalah memang kami melihat ada beberapa hal yang perlu kami lakukan PK hari ini," kata Fifi.
Kuasa hukum Ahok lainnya, Josefina Agatha Syukur menambahkan, dalam pertimbangan putusan Ahok disebutkan tak berkaitan dengan kasus Buni. Namun, Josefina menilai dasar kasus pidana yang menjerat Buni karena dia mengedit video Ahok ketika berpidato di Kepulauan Seribu.
"Videonya memang sama, tetapi kalimat yang ditambahkan di situ yang tidak sesuai. Jadi dia menambahkan kalimat yang sangat provokatif. Itu yang kami masukkan sebagai alasan," kata Josefina.
Josefina pun menilai berbagai ahli yang dihadirkan pihak Ahok juga tak dipertimbangkan sama sekali oleh majelis hakim ketika memutus perkara penodaan agama. "Itu salah satu alasan kekeliruan yang nyata," kata Josefina.
(Baca juga: Ajukan PK Tanpa Banding, Ahok Perlu Penuhi Beberapa Syarat)
Selain itu, terdapat kekhilafan hakim ketika langsung menahan Ahok usai putusan vonis dua tahun penjara dibacakan. Padahal, Ahok ketika itu sempat mengajukan banding atas putusan tersebut.
Menurut Fifi, dasar penahanan Ahok seharusnya dengan pertimbangan dirinya akan mengulangi perbuatannya atau menghilangkan barang bukti. Sementara Ahok selama persidangan berlangsung dianggap kooperatif.
"Itu tidak diuraikan mengapa Pak Ahok harus ditahan seketika, padahal pada saat itu Pak Ahok langsung menyatakan banding," kata Fifi.
Fifi mengatakan, hal lain yang menjadi dasar untuk mengajukan PK adalah banyaknya kejanggalan dari para pelapor. Menurut Fifi, para saksi pelapor kebanyakan memberikan keterangan yang sama ketika sidang berlangsung.
Adapun, Fifi menyebut tidak ada satupun penduduk kepulauan seribu yang melapor atas pidato Ahok. "Harusnya ini jadi pertimbangan juga itu (penduduk Kepulauan Seribu) baru marah dan tersinggung sesudah ada editan si bapak sana (Buni Yani)," kata Fifi.
JPU kasus penodaan agama, Ardito Muwardi menilai kasus Buni Yani tak bisa menjadi dasar pengajuan PK yang dilakukan Ahok. Ardito beranggapan kedua materi kasus tersebut berbeda dan tak bisa disangkutpautkan.
"Apa yang jadi dasar dalam pembuktian itu tidak ada sangkut pautnya. Buni Yani dipersalahkan karena UU ITE, itu adalah mengangkut unsur delik. Ahok dipersalahkan karena penodaan agamanya. Pembuktian di Buni Yani sama sekali tidak menggangu pembuktian di tempat Ahok, begitu pun sebaliknya," kata Ardito.
Buni Yani mendapat vonis hukuman pidana penjara satu tahun enam bulan karena terbukti melawan hukum dengan menyebarkan video tanpa izin Dinas Komunikasi dan Informasi Masyarakat Pemprov DKI Jakarta. Video yang disebarkan merupakan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Hakim menilai Buni Yani terbukti mengubah durasi video dari 1 jam 48 menit 33 detik menjadi hanya 30 detik ditambah potongan caption.
Sidang pemeriksaan berkas PK Ahok hanya berlangsung sekitar 10 menit. Selama proses menjelang dan setelah sidang, massa pro dan kontra sidang membawa berbagai spanduk menyuarakan pendapat mereka.
(Baca juga: MUI Perkirakan Akan Ada Protes Bila MA Kabulkan PK Ahok)