Artidjo Alkostar Tolak PK, Ahok Masih Berpeluang Ajukan PK Kembali

suara.com/Kurniawan Mas'ud/pool
Terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjalani sidang vonis perkara penistaan agama yang di gelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara di aula Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
27/3/2018, 09.50 WIB

Majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin Artidjo Alkostar bersama hakim anggota Salman Luthan dan Margiatmo, menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Senin (26/3). Ahok masih berkesempatan mengajukan PK kembali sebagai upaya hukum Ahok dalam kasus penodaan agama dengan vonis hukuman dua tahun penjara.

"Majelis Hakim Peninjauan Kembali mengadili, menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Senin (26/3).

Abdullah mengatakan, perkara PK Ahok sebelumnya diterima kepaniteraan pidana MA pada 7 Maret 2018. Kemudian, perkara itu diregister MA dengan nomor 11 PK/Pid/2018.

Majelis hakim lalu melakukan pemeriksaan PK yang diajukan Ahok. Dari pemeriksaan yang dilakukan, Abdullah menyebutkan majelis hakim tak mengabulkan seluruh alasan dalam PK Ahok tersebut.

(Baca juga: Berlandaskan Putusan Buni Yani, Berkas PK Ahok Diterima Hakim PN Jakut)

Ahok masih memiliki peluang mengajukan PK kembali, asalkan memiliki bukti baru. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 26 Juli 2017 dalam putusan Nomor 108/PUU-XIV/2016 menyatakan pengajuan PK kasus perdata hanya dibatasi satu kali, sementara kasus pidana dapat diajukan berulang kali sepanjang ada bukti baru.

"Perkara pidana tujuannya adalah untuk mencari kebenaran materiil serta perlindungan HAM dari kesewenang-wenangan negara terutama yang menyangkut hak hidup dan hak-hak fundamental lainnya," ujar MK.

MK melalui Putusannya No 34/PUU-XI/2013 juga telah memutuskan membatalkan Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang sebelumnya mengatur PK hanya dapat dilakukan satu kali menjadi dapat berulang kali.

Namun, Mahkamah Agung lewat Surat Edaran (SEMA) MA Nomor 7 Tahun 2014 mengatur PK hanya boleh diajukan satu kali. SEMA tersebut berdasarkan Pasal 24 ayat 2 UU No 48 Tahun 2009 dan Pasal 66 ayat 1 UU No 3 Tahun 2009 tentang MA yang menyebutkan PK hanya dapat dilakukan satu kali.

Sebelumnya, kuasa hukum Ahok, Fifi Lety Indra mengatakan, PK yang diajukan kliennya dilakukan berdasarkan pertimbangan adanya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata. Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan vonis 1,5 tahun terhadap Buni Yani yang dijatuhkan PN Bandung pada 14 November 2017 karena melakukan ujaran kebencian dan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu.

"Ada beberapa poin yang memang kami perlu sampaikan, di antaranya adalah memang kami melihat ada beberapa hal yang perlu kami lakukan PK hari ini," kata Fifi.

Kuasa hukum Ahok lainnya, Josefina Agatha Syukur menambahkan, dalam pertimbangan putusan Ahok disebutkan tak berkaitan dengan kasus Buni. Namun, Josefina menilai dasar kasus pidana yang menjerat Buni karena dia mengedit video Ahok ketika berpidato di Kepulauan Seribu.

"Videonya memang sama, tetapi kalimat yang ditambahkan di situ yang tidak sesuai. Jadi dia menambahkan kalimat yang sangat provokatif. Itu yang kami masukkan sebagai alasan," kata Josefina.

Josefina pun menilai berbagai ahli yang dihadirkan pihak Ahok juga tak dipertimbangkan sama sekali oleh majelis hakim ketika memutus perkara penodaan agama. "Itu salah satu alasan kekeliruan yang nyata," kata Josefina.

(Baca juga: Ajukan PK Gunakan Putusan Buni Yani, Ahok Dinilai Akan Temui Kesulitan)

Selain itu, terdapat kekhilafan hakim ketika langsung menahan Ahok usai putusan vonis dua tahun penjara dibacakan. Padahal, Ahok ketika itu sempat mengajukan banding atas putusan tersebut.
Menurut Fifi, dasar penahanan Ahok seharusnya dengan pertimbangan dirinya akan mengulangi perbuatannya atau menghilangkan barang bukti.

Sementara Ahok selama persidangan berlangsung dianggap kooperatif. "Itu tidak diuraikan mengapa Pak Ahok harus ditahan seketika, padahal pada saat itu Pak Ahok langsung menyatakan banding," kata Fifi.

Fifi mengatakan, hal lain yang menjadi dasar untuk mengajukan PK adalah banyaknya kejanggalan dari para pelapor. Menurut Fifi, para saksi pelapor kebanyakan memberikan keterangan yang sama ketika sidang berlangsung.

Adapun, Fifi menyebut tidak ada satupun penduduk kepulauan seribu yang melapor atas pidato Ahok. "Harusnya ini jadi pertimbangan juga itu (penduduk Kepulauan Seribu) baru marah dan tersinggung sesudah ada editan si bapak sana (Buni Yani)," kata Fifi.