(Baca: Revisi UU Terorisme Ditargetkan Selesai pada Periode Mei-Juli)
Rencana Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko melibatkan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI dalam pemberantasan terorisme, menuai kontroversi. Koopssusgab dianggap belum perlu terlibat karena pemberantasan terorisme berada dalam ranah kepolisian.
Koopssusgab merupakan gabungan dari tiga pasukan elite milik TNI yakni Sat-81/Gultor milik Kopassus, Satbravo 90 milik Komando Pasukan Khas TNI Angkatan Udara, serta Detasemen Jalamangkara Angkatan Laut. Moeldoko mengusulkan keterlibatan Koopssusgab dalam pemberantasan teroris ke Presiden Joko Widodo.
Peneliti Setara Institute, Hendardi mengatakan pengaktifan kembali pasukan khusus TNI untuk memberantas teroris harus sesuai Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI, di mana pelibatan TNI bersifat sementara dan merupakan upaya terakhir (last resort).
"Perbantuan militer juga hanya bisa dibenarkan jika situasi sudah di luar kapasitas Polri," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis (17/5). (Baca juga: Gabungan 3 Pasukan Elite TNI Akan Diajak Basmi Teroris)
Bantuan TNI ini pun harus jelas pembatasan waktunya dan satuan tugas yang diembannya. “Tanpa pembatasan, apalagi di luar kerangka sistem peradilan pidana, Koopssusgab hanya akan menjadi teror baru bagi warga negara,” kata Hendardi.
Hendardi mengingatkan pemberantasan terorisme harus sesuai ranah UU. “Pendekatan non-judicial dalam menangani terorisme bukan hanya akan menimbulkan represi massal. Langkah Jokowi juga dapat dinilai sebagai tindakan melanggar UU,” kata dia.
Dia mengatakan selama ini polisi dan BNPT telah bekerja optimal meringkus jejaring terorisme dan menjalankan deradikalisasi. “Jika membandingkan peristiwa yang terjadi dan peristiwa teror yang bisa dicegah, maka sesungguhnya Polri dan BNPT telah bekerja optimal,” kata Hendardi.
(Baca: Kopassus dan BAIS Akan Dilibatkan Berantas Teroris)
Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin menilai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme masih belum diperlukan.
Dia mencontohkan, TNI dapat terlibat dalam skala terror meluas, seperti dalam Operasi Tinombala dalam memberantas kelompok teroris pimpinan Santoso di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah pada 2016 lalu. Operasi ini melibatkan satuan Brimob, Kostrad, Marinir, Raider, dan Kopassus.
"Saat ini saya kira belum perlu ada pelibatan TNI. Keterlibatan TNI bila membantu mengatasi terror di luar kemampuan polisi," kata Solahudin.
Keterlibatan Kopassus
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen (Pol) Setyo Wasisto mengatakan, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD telah dilibatkan dalam penangkapan para terduga teroris. Pelibatan Kopassus dilakukan setelah tindakan bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya pada Minggu (13/5).
Setyo mengatakan, pelibatan Kopassus sudah disampaikan oleh Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian beberapa waktu lalu. "Sudah, Kopassus sudah ikut masuk. Kami sudah bekerja sama dengan Kopassus," kata Setyo di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/5).
Menurut Setyo, Kopassus telah dilibatkan dalam penggerebekan yang dilakukan Polri di beberapa lokasi, seperti Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Banten. Dalam penggerebekan itu, Kopassus dilibatkan bersama dengan Brimob.
Selain penggerebekan, Kopassus juga dilibatkan dalam rangka pengamanan objek-objek vital. Kondisi ini seiring Polri menetapkan siaga satu kepada para personelnya di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan penetapan siaga satu tersebut, Polri meningkatkan jumlah personel dan kegiatan di berbagai objek vital. Penetapan siaga satu dalam rangka meningkatkan keamanan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
"Sudah bekerja sama dengan Brimob dalam hal penggerebekan dan pengamanan-pengamanan objek vital," kata Setyo.
(Baca juga: Jejak Teror dari Kerusuhan Mako Brimob ke Ledakan Bom di Surabaya)