Penggugat Uji Materi Sebut Pasal Ambang Batas Presiden Menipu Pemilih

ANTARA FOTO/ Reno Esnir
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
9/7/2018, 16.12 WIB

Uji materi atas Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai ambang batas presiden kembali dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kali ini, gugatan diajukan oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Indonesia Effendi Gazali, Konsultan Psikologi Yudisial Reza Indragiri Amriel, Ketua KM ITB Ahmad Wali Radhi, wiraswasta Khoe Seng Seng, dan mantan Komisioner KIP Usman.

Effendi mengatakan, gugatan dengan register 01/PUU/VI-2018 tersebut menggunakan batu uji dan alasan baru. Sebelumnya pada Januari lalu, MK telah menolak uji materi atas Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan pencalonan presiden-wakil presiden melalui partai politik yang memiliki dukungan 20% suara di parlemen dan 25% suara sah nasional.

(Baca juga: 12 Tokoh, Mantan Pejabat, Ekonom Gugat Lagi Ambang Batas Presiden 20%)

Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pancasila sebagai bagian tidak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945. Menurut Effendi, pelaksanaan beleid tersebut sebenarnya tak akan membawa kerugian konstitusional kepada warga negara jika dinyatakan MK mulai berlaku pada Pemilu Serentak 2024.

Sebab, warga negara dianggap mengetahui bahwa hak pilihnya akan dihitung sebagai ambang batas presidensial pada Pemilu 2014 ketika digunakan tahun depan. Namun, jika digunakan tahun depan, Effendi menilai Pasal 222 UU Pemilu akan membohongi dan memanipulasi hasil hak pilih warga negara dalam Pemilu 2014.

Para pemilih tak pernah diberikan informasi bahwa hak pilihnya pada Pemilu 2014 akan dihitung sebagai bagian dari ambang batas presidensial pada Pemilu 2019. Informasi tersebut baru diketahui ketika UU Pemilu diundangkan tahun lalu.

"Dalam hal ini warga negara telah diberikan 'sugesti' atau dianggap tidak perlu menyadari bahwa kebohongan atau manipulasi tersebut telah terjadi," kata Effendi di MK, Jakarta, Senin (9/7).

(Baca :  MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Ambang Batas Presiden Tetap 20%)

Menurut Effendi, tindakan membohongi warga negara ini bertentangan dengan seluruh nilai-nilai Pancasila. Pasalnya, tindakan bohong tak pernah diajarkan agama dan kepercayaan apapun sehingga bertentangan dengan sila pertama Pancasila.

Tindakan membohongi juga bertentangan dengan sila kedua Pancasila karena menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, tindakan bohong dan memanipulasi hak pilih ini berpotensi memecah belah bangsa sehingga bertentangan dengan sila ketiga Pancasila.

Lalu, tindakan bohong bakal merusak proses kerakyatan dalam sistem bernegara yang dipimpin hikmat kebijaksanaan sehingga bertentangan dengan sila keempat Pancasila.

"Tidak adil, karena pemilih mengharapkan ada kesejahteraan sosial yang terkait dengan hasil pemilu yang lebih baik. Kalau di sini dibohongi harapan itu tak muncul," kata Effendi.

Untuk mempercepat proses pemeriksaan ini, Effendi meminta MK tak perlu lagi menghadirkan perwakilan dari DPR dan pemerintah.

Terkait gugatan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar penjelasan tentang kerugian konstitusional yang ditimbulkan terhadap pemohon ditambahkan. Majelis hakim MK belum melihat secara jelas kerugian tersebut dalam permohonan uji materi.

Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna meminta agar para pemohon melampirkan perbandingan perbedaan antara permohonan baru dengan gugatan serupa yang sebelumnya pernah ditolak MK. Menurut Palguna, perbedaan tersebut harus jelas sehingga memudahkan majelis hakim untuk memeriksa.

"Kalau dinyatakan berbeda, hendaknya perbedaan itu clear dibuat, misalnya dalam bentuk tabel," kata Palguna.

(Baca juga: Pendukung Prabowo Kembali Ajukan Uji Materi Syarat Calon Presiden)

Palguna juga meminta agar pemohon memperbaiki alasan permohonan. Dia meminta agar alasan permohonan dikumpulkan jadi satu dan tidak dimasukkan dalam petitum. Menurut Palguna, petitum yang dimohonkan dalam gugatan ini tidak lazim.

Dalam salah satu petitum, pemohon meminta agar MK "menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 beserta penjelasannya akan membohongi atau mendustai warga negara dan memanipulasi atau menggelapkan hasil hak pilih dalam Pemilu 2014, jika dinyatakan berlaku pada Pemilu Serentak 2019, dan karenanya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yang tidak dapat dipisahkan dengan Pembukaan UUD 1945.

"Petitum biasanya hanya menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Palguna.

Hakim Konstitusi Saldi Isra menambahkan agar para pemohon memperbaiki sistematisasi penulisan gugatan uji materi. Menurut Saldi, saat ini permohonan yang diajukan masih belum runut.

Hakim juga menyoroti argumen penggugat yang didasari oleh penelitian pemohon. Penelitian tersebut menyatakan bahwa tidak pernah ada lembaga negara di negara demokratis yang berhak dan pernah memanipulasi hasil hak pilih warga untuk Pemilu tanpa diinformasikan sebelumnya.

Saldi mengatakan, hasil penelitian tersebut sebaiknya dilampirkan dalam gugatan pemohon karena akan bermanfaat sebagai pertimbangan hakim memutus gugatan. "Semakin kuat argumentasi di posita, itu semakin bermanfaat bagi hakim untuk memutus," kata Saldi.

Atas saran majelis hakim, Effendi mengatakan akan memperbaiki permohonan sebelum batas waktu yang ditentukan selama 14 hari.

"Nanti kami perbaiki agar kalau bisa langsung diputuskan berdasarkan kebijakan para hakim yang mulia," kata Effendi.