Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut persoalan air di Jakarta saat ini sudah mencapai fase kritis dan menjadi tantangan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Masalah utama yang dihadapi lantaran Jakarta mengalami penurunan muka tanah hingga 7,5 centimeter setiap tahunnya. Bahkan, Anies menjelaskan di beberapa areal Jakarta penurunan muka tanah terjadi hingga 17 centimeter per tahun.
Tingkat penurunan muka tanah ini lebih tinggi dibandingkan kenaikan muka air laut. Akibatnya, 40% areal Jakarta saat ini telah berada di bawah permukaan air laut. "Faktanya, Jakarta tenggelam lebih cepat dibanding kota besar di dunia saat ini," kata Anies di Jakarta, Kamis (12/7).
Penurunan ini terjadi akibat muka tanah di Jakarta sulit menyerap air hujan karena telah terkonversi dengan beton dan aspal. Menurut Anies, jumlah area hijau di Jakarta telah berkurang 10-15% karena pembangunan dalam beberapa dekade.
(Baca juga: Anies Didesak Hentikan Restrukturisasi Kontrak PAM Jaya dengan Swasta)
Persoalan lainnya lantaran di Jakarta terjadi penggalian sumur air tanah yang ilegal, tidak terkontrol, dan tidak diketahui. Padahal, penggalian sumur air tanah secara berlebihan justru menjadi penyebab penurunan muka tanah semakin cepat.
Anies mengatakan, penggalian sumur air tanah ini dilakukan oleh banyak elemen, baik rumah tangga, pengembang, hingga pelaku industri. Berdasarkan data Pemprov DKI pada Maret-Juli 2016, saat ini terdapat 4.400 sumur air tanah di Jakarta.
Dari jumlah tersebut, hanya 60% sumur air yang terekam penggunaannya. Sisanya tidak terekam lantaran Pemprov DKI sulit mendapatkan data terkait penggunaan sumur air tanah. "Data tentang sumur dan penggunaannya ini sesungguhnya sangat sulit didapat," kata Anies.
Untuk mengatasi hal tersebut, Anies menilai Pemprov DKI tak bisa bekerja sendiri. Menurutnya, perlu ada kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan yang ada, termasuk masyarakat.
Bagi Anies, masyarakat harus mulai mengubah persepsinya dalam menggunakan air tanah di Jakarta. Menurutnya, masyarakat harus dapat menyadari jika Jakarta sedang dalam kondisi kritis dan karenanya perlu mengurangi penggunaan air tanah.
(Baca: MA Batalkan Privatisasi Air Jakarta, Pengusaha Tunggu Langkah Pemprov)
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Rachmat Fajar Lubis menilai perubahan persepsi masyarakat harus ditunjang penyediaan air baku oleh Pemprov DKI. Saat ini, Rachmat menilai pasokan air baku dari PAM Jaya, BUMD milik Pemprov DKI, belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.
Karenanya, Rachmat menilai Pemprov DKI harus bisa meningkatkan pasokan air baku dari PAM Jaya agar masyarakat tak lagi menggunakan air tanah. "Masyarakat itu makhluk ekonomi, kalau jauh lebih mudah dan murah pakai air PAM, dia pasti tak akan pakai air tanah," kata Rachmat.
Direktur AMRTA Institute Nila Ardhianie menilai Jakarta memerlukan sistem pipanisasi untuk air baku terintegrasi. Selama ini, Nila menilai sistem tersebut belum dibuat sehingga masyarakat akhirnya melakukan penggalian sumur air tanah.
"Harusnya begitu kota berkembang, air pipa segera disiapkan biar tak berkepanjangan seperti ini," kata Nila.
Dengan adanya sistem pipanisasi terintegrasi, Nila yakin masyarakat dapat beralih untuk tak menggunakan air tanah. Hal senada disampaikan ahli dari lembaga penelitian asal Belanda Deltares, Peter Letitre.
Menurut Peter, suplai air dari pipa harus dilakukan secara bertahap untuk bisa menghentikan abstraksi air tanah lewat penggalian sumur. Peter memprediksi distribusi suplai air pipa ini dapat mulai dilakukan pada 2024/2025.
"Ini berarti reduksi penurunan muka tanah akan bisa memungkinkan dalam beberapa tahun setelahnya dan berpotensi berhenti dalam 15 tahun," kata Peter.
(Baca: Selain Astra, Kini Salim 'Menguasai' Bisnis Air Bersih di Jakarta)
Pemerintah sendiri telah bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk mengadaptasi sistem Jepang mengatasi penurunan muka tanah. Kerja sama dengan JICA dilakukan lantaran Jepang berpengalaman dalam mengatasi penurunan muka tanah di Tokyo.
Penurunan tanah di Tokyo pernah terjadi pada medio 1920-an dan baru dapat dihentikan pada 1970. Ketika itu, Jepang menerapkan aturan mengenai pengamanan sumber air alternatif bagi industri serta pelarangan penyedotan air tanah.
Tak hanya itu, Jepang juga menggunakan teknologi pipanisasi yang mampu menyalurkan air baku sehingga penggalian sumur air tanah dapat dihentikan. Atas tindakan tersebut, permukaan tanah Jepang kini sudah naik mendekati nol dari sebelumnya turun lebih dari empat meter.
Ahli dari JICA Naoto Mizuno mengatakan, rencana tersebut saat ini sedang dikaji masih dikaji. "Dalam tiga tahun kami akan membuat rencana aksi untuk bisa menerapkan sistem ini," kata Naoto.