Kalau ada istilah Iron Lady untuk riset dan data di Indonesia, gelar tersebut layak disandang oleh Yanti Nisro. Berbagai lingkaran strategis dunia riset dan data tanah air ia nahkodai. Perempuan asal Semarang ini adalah Presiden Persatuan Riset Pasar Indonesia (PERPI), Deputy Managing Director firma riset pasar DEKA sekaligus Board of Advisor Data Science Indonesia.

Posisi tersebut diraih Yanti bukan tanpa perjuangan. Setelah lulus sarjana Statistika IPB tahun 1987, ia memulai karirnya sebagai Data Processing Programmer di Nielsen.

Berkat dedikasi dan kerja kerasnya di perusahaan tersebut, karirnya meroket. Hanya dalam 17 tahun Yanti menduduki jabatan Direktur Operasional dan Komunikasi. Empat tahun kemudian, ia memimpin Nielsen Asia Tenggara bagian selatan sebagai Executive Director Data Collection.

“You define yourself,” kata Yanti kepada Tim Riset Katadata menjelaskan bagaimana ia sebagai perempuan memenangi perjalanan karir di dunia riset dan data. “Tak perlu dipikirkan kamu perempuan harus begini, begitu. Just do your best.”

Menurut Yanti, perempuan menghadapi lebih banyak tantangan dalam mendaki jenjang karir dibanding laki-laki. Apalagi saat memilih berkeluarga, perempuan lebih sering mengalah dan meyakini karir suami lebih penting.

Salah satu dari sekian banyak perempuan di Indonesia yang harus mundur dari karirnya yang gemilang adalah Bin Hariyati Nana atau Nana. Padahal, semenjak kuliah sejumlah prestasi diraihnya, termasuk Mahasiswa Berprestasi FMIPA, hingga kejuaraan nasional Statistika Ria. Tak heran, dia pun kerap diganjar beasiswa.

Lulus dari jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Nana bekerja di perusahaan tambang sebagai Data Evaluator. Selama ditempatkan di site Kideco Pamapersada Nusantara di Batu Kajang, ia pun tak henti mengukir prestasi. Namun sejak menikah, ia harus rela meletakkan segenap ambisinya di rumah. Nana mengalah menjadi ibu rumah tangga, merawat kedua buah hatinya.

“Keluarga dan suami sebenarnya sangat support buat balik kerja, tapi situasi dan kondisinya yang belum memungkinkan. Dulu pas mau langsung balik kerja, nggak ada yang bisa dititipin, cari asisten rumah tangga (ART) nggak ketemu, dan belum tahu tentang daycare jadilah aku memutuskan di rumah saja dulu. Keterusan sampai sekarang,” kata Nana.

“Saya sangat ingin kembali bekerja, tetapi apa bisa? Saya ragu-ragu apakah ada perusahaan yang mau menerima seorang data analis yang sudah tiga tahun vakum,” ucapnya.

Nana bukan satu-satunya perempuan berprestasi di Indonesia yang harus menyerah di tengah perjalanan karirnya yang gemilang. Laporan Gender Gap Index Indonesia 2017 menunjukkan serapan tenaga kerja perempuan di Indonesia melampaui angka 52 persen. Meski demikian dari seluruh posisi senior, legislator, dan manajer, hanya 22 persen yang diduduki kaum perempuan.

Bisa jadi ini adalah salah satu alasan estimasi pendapatan perempuan Indonesia tidak lebih dari separuh pendapatan laki-laki. Sumber yang sama melaporkan estimasi pendapatan perempuan di Indonesia adalah US$ 7.632 sedangkan laki-laki US$ 15.536.

Dukungan Suami dan Lingkungan

Salah satu faktor yang membuat perempuan berhenti berkarir ketika memutuskan berkeluarga adalah kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. “Masalahnya sekarang kita (perempuan) susah cari asisten rumah tangga (ART). Bukan tidak bisa bayar, tapi memang tidak ada (yang bisa dipercaya),” tuturnya.

Tak hanya itu, jika perempuan memutuskan untuk tetap berkarir, Yanti mengatakan dukungan dari suami mutlak diperlukan.

“Saya beruntung karena suami saya memahami dan mendukung karir saya. Tapi saya pun mengerti tidak semua perempuan punya keistimewaan ini,” ujarnya.

Hal itu diamini psikolog klinis Pingkan Cynthia Bella Rumondor, M.Psi. Menurutnya, dukungan suami sangat dibutuhkan ketika istri memilih untuk tetap berkarir. Salah satunya, dengan mengurangi beban lelah dan stres yang dirasakan oleh istri ketika pulang dari kantor.

"Penting banget suami istri saling paham kondisi. Wajar kalau pulang kerja, terasa lelah. Akan sangat baik kalau suami memberikan dukungan supaya istri bisa santai-santai dulu sepulang kerja,"kata Pinkan.

Sementara itu, Yanti mendukung bahwa perempuan akan sangat terbantu jika pemerintah mendorong adanya daycare dan membuat kebijakan cuti melahirkan bagi suami.

Beberapa perusahaan di Indonesia mulai menindaklanjuti masalah ini secara serius dengan menyediakan sistem pendukung. Unilever Indonesia, misalnya, memberikan cuti melahirkan tambahan selama satu bulan, atau empat bulan secara keseluruhan. Selain itu mereka pun menyediakan fasilitas tempat penitipan anak atau daycare.

“Perempuan tidak hanya menjadi ibu rumah tangga. Kami encourage mereka bahwa mereka bisa sukses dalam karier,” ujar Nanang Chalid, HR Director, Customer Development, Finance, HR and IT and Country Head for Employer Brand PT Unilever Tbk.

Selain Unilever Indonesia, firma konsultan riset Kantar mulai Agustus 2018 akan meluncurkan program magang ‘Kantar Mom’. Program tersebut memberi kesempatan para ibu yang sempat berhenti bekerja selama beberapa tahun karena berkeluarga.

“Kami memang mau improve gender balance di level atas. Dan banyak perempuan drop-off ketika punya anak. Jadi ya mudah-mudahan program ini bisa encourage mereka untuk kembali bekerja, gain their confidence,” kata Yogi Atlin, HR Busines Partner Kantar Group Indonesia.

“Hopefully setelah (mengikuti) program, ibu tersebut sudah bisa memperoleh kepercayaan dirinya lagi dan mau kerja seterusnya,” ucapnya.


Dengan demikian, ketersediaan sistem pendukung baik dari pasangan, perusahaan maupun masyarakat, bukan tidak mungkin bila perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi breadwinner tanpa harus menomorduakan anak-anak.

This article was produced in partnership with Investing in Women, an initiative of the Australian Government that promotes women’s economic empowerment in South East Asia.