Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai keterangan saksi dari pejabat dan pegawai Grup Lippo dalam perkara suap perizinan megaproyek Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat tidak sinkron. Hal itu setelah KPK memeriksa 69 orang saksi di tingkat penyidikan hingga Rabu (14/11).

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pemeriksaan dilakukan terhadap 40 pejabat dan pegawai Grup Lippo. Selebihnya, komisi antirasuah memeriksa 12 orang pejabat Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan 17 pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi. “KPK menemukan ketidaksinkronan keterangan saksi dari pejabat dan pegawai di Grup Lippo,” kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/11).

(Baca juga: Bupati Neneng Akui Bertemu Bos Lippo James Riady Bahas Proyek Meikarta).

Karenanya, Febri mengingatkan para saksi dari pejabat dan pegawai Lippo untuk memberikan keterangan secara benar. Mereka diminta tidak mempengaruhi saksi-saksi lainnya. Jika melanggar, ada ancaman pidana terhadap saksi yang menyampaikan keterangan tidak benar.

Hal ini diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Selain itu ada ketentuan larangan melakukan perbuatan obstruction of justice di Pasal 21 UU Tipikor tersebut,” kata Febri.

Sejauh ini, KPK sudah mendalami proses pemberian rekomendasi perizinan dari masing-masing dinas di Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dari pihak Lippo, KPK menelusuri sumber uang suap yang diberikan kepada pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi.

KPK sempat menemukan indikasi penanggalan mundur atau backdate dalam sejumlah dokumen perizinan megaproyek Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Indikasi itu, di antaranya, dalam rekomendasi penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta izin lingkungan dan pemadam kebakaran.

(Baca: KPK Temukan Dugaan Manipulasi Tanggal dalam Perizinan Meikarta)

Terkait dugaan backdate, KPK tengah menelusuri apakah pembangunan Meikarta sudah dilakukan sebelum perizinan selesai. Menurut Febri, jika rekomendasi-rekomendasi tersebut tidak diproses dengan benar, risiko seperti masalah lingkungan di lokasi-lokasi pembangunan properti dapat menjadi lebih tinggi.

KPK menduga persoalan perizinan Meikarta terjadi sejak awal, misalnya pada persoalan tata ruang. Karena itu, Febri menilai Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bekasi, serta instansi berwenang lainnya bisa mengevaluasi perizinan proyek tersebut. Febri pun mengingatkan bahwa peruntukkan lahan dan tata ruang penting diperhatikan.

Hal ini agar pembangunan properti dilakukan dengan benar dan izinnya tidak bermasalah. Jika bermasalah, masyarakat sebagai konsumen bakal dirugikan. “Temuan KPK tentang dugaan suap dalam proses perizinan, dan indikasi backdate sejumlah dokumen perizinan semestinya menjadi perhatian bagi pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan review perizinan Meikarta,” kata Febri.

Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan sembilan tersangka. Mereka antara lain Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas DPMPTSP Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi.

(Baca juga: Dicecar 59 Pertanyaan, James Riady Benarkan Pernah Temui Bupati Neneng)

Tersangka dari pihak swasta yaitu Direktur Operasional Grup Lippo Billy Sindoro, dua orang konsultan Lippo bernama Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta satu pegawai Grup Lippo bernama Henry Jasmen. Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry diduga menyuap Neneng dan empat anak buahnya senilai Rp 7 miliar dari total komitmen fee Rp 13 miliar. Suap diduga diberikan untuk memuluskan berbagai perizinan pada fase pertama proyek Meikarta.

Setidaknya terdapat tiga fase terkait izin yang sedang diurus untuk proyek seluas 774 hektare tersebut. Fase pertama proyek Meikarta diperkirakan untuk luasan 84,6 hektare. Fase kedua seluas 252 hektare. Sementara fase terakhir terhampar 101,5 hektare.