Ketimbang Buoy, LIPI Tawarkan Deteksi Tsunami dengan Sensor Laser

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Kapal yang terdampar ke pemukiman penduduk akibat gelombang tsunami di desa Sukamanah, Anyer, Banten, Senin (24/12/2018).
Penulis: Ameidyo Daud
2/1/2019, 15.26 WIB

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menawarkan penggunaan sensor tsunami yang lebih efektif dan awet ketimbang buoy (pelampung). Alat tersebut bernama fiber bragg grating based tsunami sensor alias sensor laser dengan kabel fiber.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan model sensor tsunami yang dikembangkan LIPI ini relatif tahan gangguan lantaran diletakkan di dasar laut dan tidak berbahan korosif. Adapun sensor yang berbentuk pelampung lebih rentan tidak berfungsi karena mengapung di permukaan.

"Bisa saja tertabrak kapal dan diterjang ombak, jadi kalau tidak berfungsi itu bukan karena hilang," kata Laksana saat membuka acara terkait teknologi dan pendidikan siaga bencana, di Jakarta, Rabu (2/1).

Laksana mengatakan, model sensor laser ini telah dilakukan Jepang untuk mendeteksi potensi tsunami. Bahkam untuk Indonesia, peralatan tersebut dapat dipasang pada infrastruktur Palapa Ring yang menggunakan kabel bawah laut. "(Palapa Ring) lebih berpotensi ditumpangi sensor, ketimbang buoy," katanya.

Peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widiyatmoko mengatakan, prinsip kerja sensor fiber bragg grating ini hanya mengirim sinyal laser dari alat sensor berukuran 3 centimeter (cm) yang diletakkan di dasar laut. Alat tersebut lalu mengirim laser ke kotak bernama photo detector yang diteruskan lagi ke komputer.

Isi informasi tersebut adalah tenaga gelombang yang dijabarkan lagi menjadi potensi tinggi ombak yang akan menyapu pantai. "Jadi sensor itu membaca tekanan air di dasar laut," kata Bambang yang mendesain alat ini.

(Baca: BMKG Diminta Pasang Pengukur Ketinggian Air Laut Antisipasi Tsunami)

Saat ini alat tersebut sudah melewati uji coba tekanan 50 bar di laboratorium. Tekanan tersebut setara apabila sensor diletakkan pada kedalaman 500 meter di bawah permukaan laut. Sedangkan untuk pelindung sensornya, digunakan bahan polimer etilena fluorin atau bahan yang sama dengan pelapis panci teflon. "Karena teflon tidak korosif kalau kena garam," kata Bambang.

Meski belum diproduksi, Bambang mengaku siap apabila diminta pemerintah untuk membuat purwarupa sensor ini. Dia yakin lantaran fiber bragg grating ini lebih cocok dengan kondisi Indonesia ketimbang sensor pelampung. Selain itu, biaya perawatan sensor pelampung mencapai US$ 125 ribu per alat setiap tahunnya.

"Kalau fiber, tidak perlu (pelindung) bahan logam, aman dari gangguan elektromagnetik, dan biaya perawatan rendah, sekitar Rp 30 juta-an," kata dia yang mengaku telah mendesain alat ini sejak 2005.

(Baca: Antisipasi Dampak Erupsi Gunung Anak Krakatau, BMKG Pasang Sensor)

Reporter: Ameidyo Daud