Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi adanya gratifikasi yang ikut dirasakan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dan keluarganya dalam kasus suap proses perizinan megaproyek Meikarta. Gratifikasi tersebut diduga berupa pembiayaan wisata ke luar negeri.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, saat ini pihaknya tengah menelusuri dugaan gratifikasi terhadap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dan keluarganya. KPK pun tengah mencari tahu apakah hal tersebut berhubungan dengan pembahasan revisi aturan tata ruang di Kabupaten Bekasi. "Sedang terus kami dalami," kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/1).
Febri masih belum memberitahu siapa saja anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang ikut menerima fasilitas tersebut. Jumlah pembiayaan dan sumbernya pun masih belum diungkap.
Hanya saja, kemarin KPK memeriksa anggota DPRD Kabupaten Bekasi bernama Taih Minarno. Febri mengatakan, Taih diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pansus Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi.
Febri mengatakan, pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menelusuri siapa saja pihak yang berkepentingan dalam mengubah tata ruang di Kabupaten Bekasi. KPK juga mendalami aliran dana yang diduga diberikan kepada sejumlah anggota DPRD Bekasi.
Saat ini KPK telah menerima pengembalian uang sekitar Rp 100 juta dari beberapa anggota DPRD Bekasi. Menurut Febri, sikap kooperatif ini akan lebih baik bagi proses hukum yang tengah berjalan. "Karena itu, para saksi semestinya bicara terus terang saja dan jika pernah menerima sesuatu baik uang atau fasilitas agar segera mengembalikan pada KPK," kata Febri.
(Baca: Bupati Neneng Kembalikan Rp 8 Miliar dari Suap Perizinan Meikarta)
Sembilan Tersangka
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka. Mereka yakni Bupati nonaktif Kabupaten Bekasi Neneng Hasanah Yasin, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi.
Kemudian, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin dan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor. Ada pula Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dua orang konsultan Lippo bernama Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta satu pegawai Grup Lippo bernama Henry Jasmen.
Neneng bersama empat pejabat di bawahnya tersebut diduga telah menerima suap dengan nilai Rp 16,18 miliar dan SGD 270 ribu dari Billy, Taryudi, Fitra, dan Henry. Suap tersebut juga diduga dilakukan bersama Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Bartholomeus Toto, Kepala Divisi Land Acquisition and Permit PT Lippo Cikarang Edi Dwi Soesianto, dan karyawan PT Lippo Cikarang Satriadi.
Dalam dakwaan untuk Billy Sindoro disebutkan suap juga diduga melibatkan PT Lippo Cikarang. Korporasi itu diduga melakukan suap melalui anak usahanya, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), pengembang proyek Meikarta.
Akibat perbuatannya, Neneng bersama empat pejabat di bawahnya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara, Billy, Taryudi, Fitra, dan Jasmen telah didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(Baca: KPK Buka Peluang Jadikan Lippo Cikarang Tersangka Korupsi Korporasi)