Kepala BNPB Usulkan Alat Deteksi Dini Bencana Dijaga TNI

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Anggota TNI menyisir garis pantai untuk mencari jenazah korban bencana Tsunami di Pantai Tanjung Lesung, Banten, Jawa Barat, Minggu (23/12/2018). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan setidaknya 168 korban meninggal akibat bencana tersebut.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Pingit Aria
14/1/2019, 18.39 WIB

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengusulkan agar alat deteksi dini bencana diperlakukan seperti objek vital nasional. Dengan demikian, alat deteksi dini bencana nantinya diamankan oleh personel Tentara Nasional Indonesia (TNI).

"Tadi saya laporkan kepada Bapak Presiden (Joko Widodo), kalau boleh alat deteksi ini dianggap sebagai objek vital nasional dan harus diamankan oleh unsur TNI," kata Doni di Istana Negara, Jakarta, Senin (14/1).

Dengan penjagaan aparat, Doni berharap agar alat deteksi dini bencana tak lagi hilang. Selama ini, Doni mengaku mendapat banyak laporan bahwa alat deteksi dini dicuri oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Padahal, alat tersebut penting agar masyarakat dapat segera mendapatkan informasi terkait bencana.

Dia khawatir jika hal tersebut terus terjadi, program mitigasi bencana tidak akan berjalan. "Artinya kalau terjadi sesuatu, tsunami, maka korbannya sangat banyak. Bahkan bisa saja melampaui korban tsunami yang sebelumnya," kata Doni.

(Baca: Presiden Minta Sistem Peringatan Dini Bencana Dievaluasi)

Menurut Doni, Jokowi telah memerintahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto agar menugaskan prajuritnya untuk mengamankan alat deteksi dini bencana. Ada pun, Doni masih perlu berkonsultasi lebih lanjut dengan jajarannya di BNPB agar pengamanan alat deteksi dini bencana ini tidak menjadi polemik di masyarakat.

Sebelumnya, Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Indonesia sempat memiliki 22 unit buoy tsunami pada 2008. Rinciannya, delapan unit dibangun Indonesia, 10 unit dari Jerman, satu unit dari Malaysia, dan dua unit dari Amerika Serikat (AS). Namun, semua buoy tersebut telah rusak pada 2012 lalu.

Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan lima buoy milik negara lain di sekitar wilayah Indonesia. Persoalannya, lokasi buoy tersebut cukup jauh. 

(Baca: Jokowi Perintahkan Edukasi Bencana Masuk Sistem Pendidikan Nasional)

Sutopo mengatakan, satu dari lima buoy itu berada di barat Aceh milik India, satu unit di Laut Andaman milik Thailand, dua unit di Selatan Sumba milik Australia, satu unit di utara Papua milik AS. "Itu biasanya kami bisa menerima (deteksi dari buoy milik negara lain) setelah tsunami menerjang wilayah Indonesia," kata Sutopo di kantornya, Jakarta, Rabu (26/12) lalu.

Peralatan mitigasi tsunami lainnya juga kurang memadai. Sutopo mencontohkan, Indonesia hanya memiliki 52 sirine tsunami. Padahal, kebutuhan alat tersebut mencapai seribu unit. 

Selain itu, Indonesia juga baru memiliki 261 alat digital video broadcast (DVB) dari kebutuhan 553 unit. "Kita masih kekurangan 292 unit (DVB)," kata dia.

Sarana dan prasarana evakuasi, seperti rambu-rambu, jalur evakuasi dan shelter (alias tempat perlindungan) juga masih kurang. Di Banten saja, hanya ada dua shelter yang berada di Wanasalam dan Labuan.  Padahal shelter idealnya dibangun setiap radius dua kilometer.

Reporter: Dimas Jarot Bayu