Peluang pasar domestik maupun internasional atas berbagai karya yang dihasilkan subsektor penerbitan terbuka luas. Komite Buku Nasional menilai bahwa kesempatan ini belum dimanfaatkan optimal karena terkendala kompetensi individu.

Ketua Komite Buku Nasional Laura Bangun Prinsloo mengatakan, tantangan terbesar bagi perkembangan subsektor penerbitan adalah penguatan sumber daya manusia (SDM) yang bergerak di bidang perbukuan.

"SDM ini mulai dari penulis, penyunting, penerjemah, desainer grafisnya, ilustrator, pemasaran dan distribusi, hingga ke penerbitnya," ucapnya kepada Katadata.co.id, Rabu (16/1).

Laura mencontohkan, celah pasar yang terbuka luas terbukti dari respons yang diterima Indonesia saat turut serta dalam berbagai bursa buku internasional. Pada London Book Fair (LBF) 2018 terjual hak cipta atas 14 judul buku menghasilkan sekitar US$ 113,63.

(Baca juga: Jadi Fokus Perhatian Pameran Buku London, Bekraf Target Jual 50 Judul

Penerbitan termasuk dalam 16 subsektor ekonomi kreatif yang dinaungi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Pada 2016, kontribusi bidang ini terhadap produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif nasional sebesar 6,32% setara nilai Rp 58,31 triliun.

Faktor yang mampu mendorong gairah industri penerbitan terutama populasi penduduk. Jumlah penduduk mencapai ratusan juta jiwa merupakan potensi asalkan disertai minat baca tinggi.

Aspek lain adalah kebebasan, penulis negeri ini terbilang bebas melahirkan ide dan beragam bentuk karya tulis memikat. Populasi penduduk dan kebebasan berkarya berpeluang memposisikan Indonesia sebagai produsen sekaligus konsumen buku utama di dunia.

"Komite buku membuktikan minat luar negeri terhadap karya tulis Indonesia besar. Tapi memang ini harus didukung dengan peningkatan mutu SDM dan karyanya," ujar Laura.

Dia mengimbuhkan, sejak Komite Buku Nasional dibentuk pada awal 2016 sampai sekarang terjual hak terjemah lebih dari 1.200 judul buku ke penerbit asing. (Baca juga: 10 Film Adaptasi Buku Diprediksi Menang Oscar 2019

Industri penerbitan bergerak seiring perkembangan teknologi. Buku cetak bukan lagi satu-satunya andalan penerbit, baik perusahaan mayor maupun mandiri. Pasalnya, kini bermunculan usaha penerbitan digital.

Penerbitan digital meliputi kegiatan penerbitan dari hulu sampai hilir menggunakan platform digital. Usaha ini bermula dari penentuan konsep, pengembangan konten (tema dan isi), pengembangan platform digital, serta pemasaran secara digital atau daring.

"Digitalisasi ini juga penting dan belum semua SDM (penulis maupun penerbit) paham prosesnya seperti apa. (Untuk itu) penguatan SDM penerbitan harus dirancang jangka panjang, bukan sporadis," tutur Laura.

(Baca juga: Facebook Suntik Rp 4,2 Triliun untuk Kantor Berita Lokal Seluruh Dunia

Penerbitan digital menyebarluaskan informasi, ide, dan gagasan ilmiah maupun populer (fiksi atau nonfiksi) ke dalam perangkat elektronik berbasis komputer. Ruang lingkup produknya, seperti buku elektronik (ilmiah dan fiksi), e-journal, e-magazine, materi belajar interaktif, dan arsip elektronik.