Survei Medsos: Jokowi Korban Berat Hoaks Politik Pilpres 2019

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Presiden Jokowi menyampaikan sambutan dalam Rapat Umum Relawan Jokowi di Sentul Internasional Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/8/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
7/2/2019, 20.13 WIB

Lembaga survei PoliticaWave menyebutkan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo paling sering menjadi korban kabar bohong alias hoaks politik selama proses pemilihan presiden tahun ini (Pilpres 2019). Berdasarkan pemantauan mereka di media sosial (medsos), sepuluh hoaks yang paling banyak dibicarakan selalu mengarah ke Jokowi.

Pendiri PoliticaWave Yose Rizal mengatakan, hoaks yang paling banyak dibicarakan yakni mengenai penganiayaan aktivis Ratna Sarumpaet. Terdapat 750.482 percakapan di media sosial yang terkait kabar bohong Ratna selama periode 28 Januari – 04 Februari 2019. Peristiwa ini lalu dirahkan kepada presiden ketujuh ini. “Jokowi adalah korban hoaks politik di Indonesia,” kata Yose di Jakarta, Kamis (7/2).

(Baca: Pemukulan Ratna Sarumpaet Masuk Daftar 10 Hoaks Terbesar 2018)

Setelah isu penganiyaan ini, hoaks besar lainnya terkait utang pemerintah senilai US$ 2 miliar. Ada 64.032 percakapan yang membahasnya. Kemudian, 53.450 percakapan membahas kebohongan tujuh kontainer berisikan surat suara yang telah tercoblos. Pada posisi keempat, hoaks paling banyak dibicarakan mengenai transaksi e-Toll yang dikaitkan dengan utang dari Cina, yakni 6.940 percakapan.

Hoaks calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo sebagai kader PKI juga masih ramai dibicarakan. Meski muncul sejak 2014, tercatat masih ada 6.579 percakapan yang membahasnya. Nah, salah satu isu yang paling mutakhir yakni tudingan Jokowi gunakan konsultan asing. Adapun kabar bohong mengenai ijazah SMA Jokowi palsu sebanyak 560 percakapan.

Di luar itu, terdapat 461 percakapan terkait hoaks 10 juta tenaga kerja asing asal Cina. Lalu, 110 percakapan mengenai posisi calon wakil presiden Ma'ruf Amin bakal digantikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Menurut Yose, hoaks pada Pilpres 2019 ini tiga hingga empat kali lebih banyak dari Pilpres 2014. Efeknya, berbagai hoaks tersebut berbahaya bagi kesatuan bangsa Indonesia. Juga, dapat mengganggu fokus pemerintah lantaran disibukkan memberikan klarifikasi.

(Baca: Hoaks Marak, Jokowi: Penyebar Isu Ingin Pemerintah Terlihat Bersalah)

Secara politis, berbagai hoaks yang beredar dapat mempengaruhi elektabilitas para kandidat. Karenanya, Yose menilai masalah hoaks ini harus ditangani secara cepat. Para kandidat dan tim sukses perlu segera mengklarifikasi atas hoaks yang beredar. “Kalau dibiarkan terlalu lama, sulit mengklarifikasi,” kata Yose.

Menurut dia, konten dalam mengklarifikasi hoaks juga penting. Korban hoaks harus dapat menyampaikan pelurusan informasi secara kreatif agar dapat diterima publik. Di sinilah literasi informasi terhadap publik perlu dilakukan. Sehingga, masyarakat tidak mudah termakan hoaks. “Harus diproteksi dulu,” ujarnya.