KPA Nilai Reforma Agraria di Era Jokowi Belum Sesuai Target

Donang Wahyu|KATADATA
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
4/3/2019, 14.53 WIB

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai program reforma agraria yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla masih belum berjalan dengan baik. KPA menilai tahapan redistribusi tanah dalam reforma agraria masih belum sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, pemerintah mencanangkan 400 ribu hektar tanah untuk diredistribusikan kepada subjek prioritas, yakni petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat yang terdampak konflik agraria. Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), baru 270.237 hektare lahan yang telah berhasil diredistribusi.

(Baca: Disebut Tak Berguna, Jokowi Tetap Lanjutkan Pembagian Sertifikat Tanah)

Meski demikian, KPA mencatat baru 785 hektare lahan yang diredistribusikan sesuai dengan tujuan dan prinsip reforma agraria. Dari angka tersebut, antara lain berada di Desa Mangkit, Sulawesi Utara; Desa Pemgaran dan Pasawahan, Jawa Barat; dan Desa Tumbrek, Jawa Tengah.

"Sisanya kuat diduga antara kesesusaian obyek tanah dan subyek penerima redistribusi tanah salah sasaran dan tidak sesuai tujuan-tujuan reforma agraria," kata Dewi di Gedung Ombudsman, Jakarta, Senin (4/3).

Hal serupa terjadi kepada tahapan pelepasan kawasan hutan. Dewi mengatakan, pemerintah sebelumnya menjanjikan pelepasan kawasan hutan dalam reforma agraria sebesar 4,1 juta hektare.

KPA mencatat, perkembangan pelepasan kawasan hutan masih belum terealisasi sama sekali sesuai sasarannya. Sehingga menurutnya, data pemerintah yang menyatakan realisasi pelepasan kawasan hutan sebesar 994.761 hektare tidaklah tepat.

Sebab, lahan tersebut tidak cocok digunakan untuk redistribusi tanah. Dewi mencontohkan, ada lahan kawasan hutan yang dilepaskan berada di perairan.

Ada pula titik-titik lahan yang sebenarnya berada di lereng yang curam sehingga tidak mungkin diredistribusikan kepada masyarakat.

Namun, program sertifikasi tanah yang diklaim sebagai capaian pemerintah diakuinya  memang penting untuk memberikan kepastian hukum atas tanah masyarakat. Hanya saja, program tersebut belum menyentuh inti persoalan dari reforma agraria dan belum menyentuh target prioritas.

"Ini harusnya diprioritaskan ke obyek lahan dan subyek prioritas," kata Dewi.

Buka Data HGU

KPA mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan program reforma agraria ini dengan baik. Pemerintah, kata dia, tak bisa lagi menjalankan reforma agraria seperti kerja rutin selama ini, dengan hanya membagikan sertifikat tanah.

Perlu ada keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan program reforma agraria. Hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membuka data Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang ada. 

(Baca: Jokowi Minta Penataan Pemanfaatan Lahan Hutan Dipercepat)

Sebab, konflik agraria selama ini kerap terjadi karena tertutupnya data-data HGU oleh para pemilik konsesi. Dengan dibukanya data tersebut, masyarakat bisa mengawasi berjalannya konsesi lahan tersebut.

"Pemerintah juga harus lakukan evaluasi menyeluruh mengapa konsesi ini telah menimbulkan konflik agraria di lapangan," ujar Dewi.

KPA juga meminta reforma agraria tidak hanya dijalankan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di samping itu, perlu juga adanya keterlibatan dari berbagai kementerian/lembaga lain untuk menuntaskan program reforma agraria, seperti BPK, Kemenkeu, MA, Kejaksaan, Kepolisan, termasuk DPR.

Karena, masalah agraria bersifat lintas sektoral. Dewi pun menyarankan agar ada lembaga adhoc untuk mengatasi persoalan reforma agraria yang mencakup keterlibatan berbagai kementerian/lembaga tersebut.

"Kami sepakat presiden harus membangun konsensus nasional. (Penyelesaian reforma agraria) ini membutuhkan kerja sama semua pihak," kata Dewi.

(Baca: Hindari Isu Sensitif Perhutanan Sosial, Darmin: Tidak Perlu Ngebut)

Dia pun menyarankan agar ada terobosan hukum dan politik untuk menyelesaikan reforma agraria. Menurut Dewi, reforma agraria sulit diimplementasikan karena terbentur berbagai regulasi.

Menurut catatannya, ada 600 aturan yang tumpang tindih terkait persoalan agraria di Indonesia. "Perlu adanya terbosoan hukum dan politik dari Presiden," ujar dia.

Sementara itu, pihak pemerintah juga sebelumnya mengakui reformasi agraria sebagai salah satu pekerjaan besar bagi pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution  bahkan mengatakan  reformasi agraria diperkirakan membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk bisa tuntas.

Untuk itu, pemerintah harus memulai program tersebut secepatnya. Setiap kementerian dan lembaga harus berkoordinasi dengan baik dalam menjalankan reformasi agraria ini. “Semua negara sudah lakukan itu. India, Korea, Taiwan, Malaysia, dan Filipina sudah. Kita belum,” kata Darmin di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (31/10).

Menurut dia, ada empat cakupan reformasi agraria yang harus dijalankan pemerintah. Pertama, pemerintah harus melakukan legalisasi aset hingga sembilan juta bidang lahan pada 2019. Legalisasi aset penting untuk menjamin kepastian hukum. Tak hanya itu, bisa untuk mendapatkan modal. Meski sudah 72 tahun berdiri, masih banyak tanah di Indonesia belum disertifikasi.

Kemudian, kata Darmin, reformasi agraria juga mencakup redistribusi aset melalui sertifikasi tanah rakyat. Pemerintah menargetkan sertifikasi tanah rakyat mencapai sembilan juta hektare pada 2019.

Lebih lanjut, reformasi agraria juga mencakup program perhutanan sosial. Nantinya masyarakat diberi hak mengelola kawasan hutan selama 35 tahun. Untuk mendorong program tersebut, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasah Hutan (PPTKH).

Cakupan terakhir dari reformasi agraria yakni peremajaan perkebunan. Darmin mengatakan, program tersebut telah berjalan untuk perkebunan kelapa sawit. Ke depan, peremajaan juga dilakukan untuk berbagai komoditas lain.

Reporter: Dimas Jarot Bayu